•   21 December 2024 -

PT. Borneo Grafika Pariwara

Jl. Kapt Pierre Tendean, RT 02 No 9, Kelurahan Bontang Baru
Kecamatan Bontang, Kota Bontang, Kaltim - 75311

Jalan Panjang Perjuangan Akuisisi Kampung Sidrap, 200 Kali Pertemuan Tanpa Hasil Berujung Instruksi Cabut Gugatan oleh Mendagri

Bontang - M Rifki
11 Agustus 2024
 
Jalan Panjang Perjuangan Akuisisi Kampung Sidrap, 200 Kali Pertemuan Tanpa Hasil Berujung Instruksi Cabut Gugatan oleh Mendagri Suasana sidang tapal batas Kampung Sidrap di Mahkamah Konstitusi/Ist-Klik Kaltim

KLIKKALTIM.COM- Perjuangan Pemkot Bontang supaya Kampung Sidrap, di Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur agar kembali ke wilayah administrasi Kota Bontang dilakukan hampir 20 tahun silam. Biaya untuk membiayai proses ini pun tak sedikit. Namun, ketika proses persidangan tengah berjalan mendadak Menteri Dalam Negeri menginstruksikan agar gugatan perkara dibatalkan. 

---

Agus Haris masih ingat betul kekecewaan warga Kampung Sidrap medio 2005 lalu usai mengetahui wilayahnya telah keluar dari Kota Bontang dan menjadi daerah adminsitrasi Kutai Timur. Menjadi bagian Kutai Timur artinya harus menempuh puluhan kilometer dengan jarak tempuh lebih 1 jam. Sedangkan, cukup dengan beberapa langkah sudah masuk wilayah Bontang.

Kala itu, Agus Haris bersama warga setempat bersurat ke Bupati Kutai Timur Isran Noor saat itu. Mereka meminta agar 7 RT di wilayah Kampung Sidrap tetap masuk Bontang. Disebut-sebut, saat itu Bupati Isran memberi restu tuntutan masyarakat.

Tetapi, restu dari Bupati tak membatalkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Tapal Batas Kampung Sidrap. Berbekal persetujuan Bupati, Agus Haris dan tetangganya menemui Gubernur Kaltim kala itu Awang Faroek Ishak. Tetapi hasilnya tetap sama, tak ada kepastian hukum tuntutan warga bisa dipenuhi.

Harapan masyarakat tak menguap. Pada 2014 lalu, DPRD Bontang menemui legislator Kutai Timur untuk berdiskusi terkait Kampung Sidrap. Dialog antar Lembaga ini tak menemui titik temu, dewan Kutai Timur bersikukuh agar Kampung Sidrap tetap menjadi wilayahnya.

Dua periode Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak tak juga berhasil menggolkan tuntutan masayarakat di sana. Penjabat Gubernur Kaltim Meiliana pada 2019 memfasilitasi pertemuan antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutai Timur.

Mediasi berlangsung lancar, dengan sejumlah kesepakatan untuk mengevaluasi batas-batas daerah yang dilakukan kedua wilayah. Kemudian dilakukan penelusuran luas wilayah 164 hektar. 

Faktanya bertambah menjadi 275 hektar. Karena ada masjid dibangun dan 2 gereja serta faktor alam. "Setelah itu tanpa ada kompromi DPRD Kutim menolak kesepakatan itu di dalam Paripurna," sambungnya. 

Padahal menurut Agus Haris, DPRD Kutim tidak punya hak menolak. Baru atas 2 persepsi itu Isran Noor melaporkan ke Kementerian Dalam Negeri. 

"Kemudian ada jeda 2020-2021 akhir. Baru 2022 muncul kesepakatan hasil kesepakatan persetujuan Gubernur Kaltim dan penolakan DPRD Kutim dikirim ke Kemendagri," terangnya. 

Menunggu tidak ada kepastian Agus Haris langsung 5 kali mengunjungi Kemendagri. Di sana perwakilan Kemendagri menjelaskan tidak bisa melanjutkan. Menyarankan agar tempuh jalur hukum. 

Terdapat 200 kali pertemuan tidak ada kepastian. Usai dari Kementerian Dalam Negeri baru disampaikan ke warga. "Bahkan orang Kemendagri sendiri sarankan jakut hukum," ungkapnya. 

Mendapatkan hasil buntu. Setelah itu masyarakat lanjut dengan forum RT memberikan mandat atau kuasa ke DPRD dan pemerintah dan DPRD. 

Baru diparipurnakan dan DPRD dan Pemkot sepakat untuk mengugat pada pertengahan 2023. Anggaran Rp3, 7 miliar disiapkan dan Pemkot Bonteng menggandeng lawyer Hamdan Zoelva. 

Pertama Pemkot Menggugat Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Tapal Batas menyangkut Kampung Sidrap di Mahkamah Agung (MA). Hasilnya gagal. 

Kemudian masuk gugatan ke MK dengan materi UU Nomor 47/1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. 

Proses persidangan masih terus berlanjut. Pekan depan giliran pemanggilan untuk masing-masing pemangku kebijakan Pemkot dan Pemda. Baik Kutim dan Bontang. 

"Kemendagri seharusnya membiarkan proses hukum ini berjalan," pungkasnya.






TINGGALKAN KOMENTAR