RSUD Abai, Pemkot Santai

Oleh: Sari (Koordinator Tim Liputan)
SAYA teringat film Erin Brockovich ketika mendatangi Kampung Gotong Royong. Film yang dirilis pada 2000 itu terinspirasi dari kisah nyata. Tentang pengelolaan limbah kimia berbahaya yang dilakukan serampangan hingga membuat warga Hinkley, California, Amerika Serikat, menderita.
Selama bertahun-tahun warga Hinkley mengidap berbagai penyakit berbahaya, karena perusahaan energi besar membuang limbah kimia tanpa izin dan mencemari lingkungan.
Situasi itu yang kini dialami warga Kampung Gotong Royong. Penyebabnya, kebijakan sembrono yang dilakukan oleh manajemen RSUD Taman Husada. Mereka mengoperasikan insinerator, alat pembakar limbah medis, secara ilegal.
Manajemen berdalih, tanpa legalitas, pengoperasian insinerator bisa dilakukan karena hasil uji emisi yang sesuai baku mutu. Selain itu, asap hasil pembakaran limbah juga selalu berwarna putih.
Namun, fakta di lapangan mengungkap hal sebaliknya. Asap hitam selalu mengepul dari corong insinerator. Sebelum berakhir mengepung rumah-rumah warga. Jarak insinerator yang terlalu dekat dengan rumah warga jadi sebab utamanya.
Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah B3 mewajibkan lokasi insinerator berjarak minimal 300 meter dari permukiman.
Kebijakan yang tidak bertanggung jawab itu secara tak langsung menampakkan kecongkakan dan keegoisan rumah sakit pelat merah. Tidak hanya mengelola sampah medis berbahaya tanpa izin. Mereka juga tidak pernah terbuka kepada warga. Tidak ada sosialisasi.
Fakta ini begitu ironi. Rumah sakit yang seharusnya menjamin kesehatan masyarakat, justru menebar penyakit secara senyap. Mereka tidak hanya melanggar hukum lingkungan, tetapi juga mengorbankan nyawa dan kesehatan banyak orang demi keuntungan mereka sendiri.
Di sisi lain, pemerintah seolah mendukung RSUD yang abai terhadap peraturan. Membiarkan aktivitas tak bertanggung jawab itu berlangsung selama setahun lebih. Tanpa tindakan tegas. Hanya teguran semata. RSUD maupun pemerintah seolah sedang bersekongkol menutupi pelanggaran.
Lalu, sebuah pertanyaan klise muncul. Sebenarnya pemerintah berdiri di pihak mana? Kita berhak bertanya. Karena ketidakhadiran pemerintah seolah menegaskan posisi rakyat yang harus berjuang sendiri dalam menuntut hak akan hidup yang aman dan nyaman.
Seperti yang tergambar oleh warga Kampung Gotong Royong. Mereka berjuang sendiri. Kesulitan yang mereka hadapi tak terlihat. Seperti tertutup bangunan rumah sakit yang menjulang tinggi. Suara mereka juga tak terdengar. Seolah teredam tembok rumah sakit yang berdiri kokoh di samping rumah mereka.
Sebelum kekacauan ini semakin buruk dan meluas, sudah seharusnya Pemeritah Kota Bontang selaku pengawas tertinggi di tingkat wilayah mengambil langkah tegas. Bukan justru berlindung di kalimat “Kewenangan Pusat”, sehingga memilih abai dan menutup mata, melihat pelanggaran dilakukan secara terang-terangan.
Jangan sampai toleransi terhadap pelanggaran yang berimbas pada keamanan dan kenyamanan hidup warga menciderai slogan Bontang sebagai Kota Taman (Tertib, Agamis, Mandiri, Aman dan Nyaman). Namun, jika pembiaran terus terjadi, maka slogan tersebut nampaknya hanya branding. Karena, tak sesuai dengan realitas di lapangan.
Di ending film Erin Brockovich, ratusan warga Hinkley yang menderita penyakit akibat pencemaran lingkungan, menerima pembayaran ganti rugi dari perusahaan PG&E. Mereka berhasil mendapatkan keadilan setelah bertahun-tahun menderita.
Namun, penderitaan yang dialami warga Hinkley bisa dihindari oleh warga Kampung Gotong Royong. Jika saja pemerintah menjalankan tugas menjadi garda terdepan dalam melindungi warganya. Lebih dari itu, rumah sakit sudah sepantasnya bukan menjadi sumber penyakit. (Sari)
Ikuti berita-berita terkini dari klikkaltim.com dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: