•   23 April 2024 -

'Hantu' Resesi Ekonomi Dunia Gentayangan, Bagaimana Nasib RI?

Ekonomi -
06 September 2019
'Hantu' Resesi Ekonomi Dunia Gentayangan, Bagaimana Nasib RI? Foto: Philimon Bulawayo/Reuters.

KLIKKALTIM -- Ekonomi dunia saat ini sedang mengalami perlambatan. Sejumlah kalangan menyebut jika dunia saat ini sudah mendapatkan sinyal resesi.

Beberapa negara bahkan sudah mendapatkan status resesi tersebut. Ini dikhawatirkan akan menular ke negara lain. Termasuk ke Indonesia, apakah benar Indonesia akan terdampak?

Berikut berita selengkapnya:

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan meskipun ekonomi global belum masuk ke resesi, namun sudah menunjukkan perlambatan atau sudah lampu kuning.

Menurut dia perlambatan ekonomi global ini harus diantisipasi lebih dini. Agar perekonomian tak terus memburuk dan benar-benar menuju resesi.

"Apalagi sudah ada negara yang dinyatakan secara resmi mengalami resesi," kata Piter saat dihubungi, Kamis (5/9/2019).

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan saat ini memang beberapa negara sudah menunjukkan perlambatan ekonomi yang ekstrim bahkan negatif.

"Sebut saja Argentina, Turki, Venezuela dan Brazil. Kemudian beberapa negara di Asia seperti China, Singapura, India, Thailand dan Malaysia juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi karena efek negatif dari trade war," kata Ryan.

Kemudian, sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, ADB, OECD dan ECB juga sudah meramal jika pertumbuhan ekonomi global tahun ini juga akan melemah dan peluang rebound tahun 2020 masih berat karena efek trade war dan Brexit hingga geopolitik seperti demo di Hong-Kong dan tensi AS - Korea Utara masih panas.

Menurut dia, memang untuk beberapa negara seperti Turki dan Argentina mungkin sudah masuk ke zona resesi ekonomi. Untuk AS sendiri, probabilitas resesi ekonomi masih 25% karena dari 12 indikator makro ekonominya yang paling utama baru 2 indikator yang merah, 4 kuning dan 6 hijau.

"Merah artinya indikasi resesi, kuning waspada dan hijau masih ok. Jadi resesi di AS menggunakan 12 variabel makroekonomi, bukan parameter umum yg dianut di negara2 lainnya yaitu jika pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif dalam dua kuartal berturut-turut," imbuh dia.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, Indonesia masih cukup aman dari ancaman resesi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih bisa terjaga di kisaran 5% dan ditopang oleh pasar domestik yang cukup kuat.

"Tantangan untuk Indonesia sesungguhnya bukan menghindari resesi, tapi bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jauh lebih dari 5%" ujar Piter saat dihubungi detikcom, Kamis (5/9/2019).

Menurut Piter, meskipun global mengalami perlambatan namun Indonesia masih bisa memacu ekonomi agar bisa tumbuh lebih tinggi. Karena itu dibutuhkan koordinasi khususnya pemerintah dan BI untuk menstimulus perekonomian dengan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar serta didukung oleh kebijakan sektor riil yang lebih kondusif.

Dari sisi pemerintah, dibutuhkan kebijakan belanja yang lebih ekspansif diikuti dengan pelonggaran pajak. Kemudian dari sisi BI diperlukan kebijakan moneter yang lebih longgar atau bahkan lebih ekspansif.

"Di kebijakan sektor riil, diperlukan berbagai perbaikan regulasi yang benar-benar kondusif bagi investasi," jelas dia.

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan, Indonesia masih jauh dari krisis karena pertumbuhan ekonomi kuartalannya masih tumbuh positif.

Dia menyebut jika ekonomi minus dalam dua kuartal berturut-turut itulah krisis. Dia meyakini, jika pemerintah beserta otoritas keuangan sudah memiliki resep antisipasi, tinggal implementasinya harus cepat dan nyata.

"Tapi tetap perlu waspada mencermati dinamika eksternal, agar bisa sedia payung sebelum hujan sehingga tidak kebasahan," jelas dia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2019 tercatat 5,06%.

Peneliti CSIS Fajar B Hirawan menjelaskan mengungkapkan, memang ada penurunan kinerja produk domestik bruto (PDB) di dunia.

"Dalam kasus Indonesia, kita harus tetap waspada, sinyal itu sudah mulai terlihat ketika kuartal II 2019, pertumbuhan ekonomi kita lebih rendah yakni 5,05% dibandingkan kuartal I 5,07%," kata Fajar saat dihubungi, Kamis (5/9/2019).

Menurut dia, beberapa faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang strategis Indonesia seperti Amerika Serikat (AS) dan China, akibat perang dagang dan kebijakan ekonomi yang populis. Jika diasumsikan Indonesia tidak mampu mengutak-atik faktor eksternal ini, selain melakukan antisipasi negara tujuan ekspor, maka yang bisa dikelola adalah internalnya.

Fajar mengatakan, dari sisi internal, resesi ekonomi dapat terjadi karena indikator yang kurang baik seperti konsumsi rumah tangga yang turun, investasi dan produksi yang rendah. Hal ini harus terus dijaga kinerjanya oleh pemerintah. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga.

Jurus paling jitu yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga daya beli masyarakat atau menjaga tingkat inflasi agar kinerja konsumsi rumah tangga tidak menurun.

"Wacana kenaikan harga seperti iuran BPJS dan listrik secara otomatis akan memengaruhi daya beli masyarakat, sehingga pemerintah tampaknya perlu mengantisipasi hal ini ke depannya," imbuh dia.

Selain itu untuk investasi dan produksi masih belum diimbangi dengan proses perizinan investasi yang pas. Masih banyak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang kurang sinkron dan ditakutkan menjadi penghambat untuk pencapaian target investasi.

Menurut Fajar, Indonesia saat ini membutuhkan investasi yang sangat besar untuk membangun industri berbasis bahan baku lokal dan berorientasi ekspor. Karena itu diharapkan hambatan yang ganggu iklim investasi bisa dikurangi.

"Segala bentuk insentif fiskal yang dijanjikan pemerintah harus benar-benar direalisasikan sebagai bentuk komitmen agar investasi di seluruh Indonesia semakin banyak," jelas dia.

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan pemerintah juga harus mendorong ekspor melalui produk manufaktur unggulan seperti alas kaki, perlengkapan otomotif, metal dan bahan dari kulit dan kayu ke negara tradisional maupun non tradisional.

Pemerintah bisa memperkuat program CEPA dengan negara-negara tertentu sebagai strategic buyers. Indonesia juga harus aktif dalam berbagai kegiatan internasional agar produk makin dikenal di pasar internasional.

"Selain itu juga pemerintah harus mendorong UMKM melalui policy yang pro pertumbuhan UMKM sebagai penyangga atau bumper perekonomian di saat mengalami pelemahan," imbuh dia.

Ryan menambahkan, juga harus ada insentif fiskal ke industri manufaktur tertentu yang padat modal dan padat karya. Kemudian, mempercepat belanja pemerintah pusat dan daerah sebagai pengungkit perekonomian.

"Koordinasi yang lebih baik dan proaktif dari semua K/L, BKPM, BI dan OJK untuk memformulasikan kebijakan yang integrated dan relaktatif (sebagai) sehingga menarik bagi investor dan pelaku usaha," ujarnya.

 

Sumber :  detik.com




TINGGALKAN KOMENTAR