•   05 May 2024 -

Liputan Khusus KLIK KALTIM

Dilema Penutupan Tambang Pasir di Jalan Flores

Bontang -
14 Mei 2020
Dilema Penutupan Tambang Pasir di Jalan Flores Petugas gabungan dari TNI/Polri dan Satpol PP menutup praktik tambang pasir ilegal di jalan Flores

KEBUTUHAN pasir uruk di Kota Bontang menjadi prioritas. Daerah pesisir ini cukup rendah jika dibanding wilayah lain di Kaltim.Tingkat kemiringan Bontang bervariasi 0-120 meter di atas permukaan laut, Samarinda jauh lebih tinggi puncaknya bisa 200 meter di atas permukaan laut.

Sejak dimekarkan dari Kabupaten Kutai 1999 silam, akselerasi pembangunan di Kota Bontang, berkembang pesat. Walikota Bontang periode 2000-2004 dan 2004-2009, Andi Sofyan Hasdam, sukses menyulap jalan-jalan dalam kota yang sebelumnya masih jalan tanah jadi jalan beton dan beraspal.

Bahkan diujung kepemimpinannya, suami dari Walikota Bontang Neni Moerniaeni ini, mewariskan bangunan monumental, yakni pusat perkantoran pemerintah di Bontang Lestari.

Seiring kemajuan kota, pertumbuhan pemukiman warga juga berlangsung massif.  Kawasan rawa yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan, kini beralih fungsi jadi kawasan pemukiman padat penduduk.   

Pertumbuhan infrastruktur yang demikian pesat, tentu saja tidak terlepas dari peran pengusaha galian C yang berpusat di jalan Ir Soekarno – Hatta (eks Jalan Flores). Jutaan kubik pasir urug dari kawasan Hutan Lindung Bontang, digunakan untuk menopang pembangunan kota.         

Sayangnya, lokasi tambang pasir ini sejak dulu ilegal. Tak ada izin lingkungan dari eksplorasi bukit-bukit pasir di sana.

Ancaman lingkungan atas galian terjadi. Jaringan Advokasi dan Tambang (Jatam) Kaltim memastikan ada daya rusak yang disebabkan dari eksplorasi tambang galian.

Lantas siapa pihak yang bertanggung jawab dari aktivitas tersebut. Sebab, status kegiatan galian C di jalan Flores ilegal. Beban lingkungan diserahkan lagi ke pemerintah dan hajat hidup warga setempat.

Tetapi situasi semakin pelik. Kebutuhan warga Bontang atas pasir urukan masih bergantung dari pasokan pasir di Jalan Flores. Selain itu, ada ribuan perut yang berharap dari aktivitas di sana.

Kegiatan kosntruksi di Bontang bakal terganggu. Sementara itu, pelaku sopir muatan enggan mengambil pasir di lokasi lain (Kutai Timur). Selain harga beli lebih mahal, akses menuju lokasi cukup jauh. Sementara harga di pasaran tak alami peningkatan.

 

Siapa Bertanggung Jawab

Rabu siang, 13 Mei 2020 petugas gabungan dari TNI/Polri, Satpol PP menggeruduk lahan tambang pasir di jalan Ir Soekarno - Hatta, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat.

Petugas menutup 2 tambang pasir di sana. Mereka juga memasang papan pengumuman di lokasi galian. Aktivitas galian C di lokasi ini dianggap ilegal. Sebab melanggar Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bontang.

Di dalam dokumen induk RTRW Bontang nomor 13/2019 memang tidak mengatur peruntukkan lahan galian tambang apapun, bahkan untuk kebutuhan material pasir.

Lahan di sekitarnya masuk kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), khusus diperuntukkan pemukiman maupun ruang terbuka hijau. Pelanggaran terhadap aturan RTRW bisa berimbas pidana penjara.

Ancaman kerusakan lingkungan dari aktivitas galian tambang pasir pasti beri daya rusak alam. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai galian C bisa merusak ekosistem setempat bahkan hingga ke pesisir.

“Saat hujan pasir bisa terbawa air ke sungai terjadi sedimentasi hingga ke anak sungai, bahkan ke mangrove dan terumbu karang” ujar Dinamisator Jatam, Pradarma Rupang kepada wartawan.

Pengubahan bentang alam tentu memberi daya rusak bagi lingkungan. Harus ada pihak yang diminta bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan. Tapi hal ini sulit terwujud sebab lokasi galian tambang berstatus ilegal.

“Nah kalau ilegal, tentu pemerintah lagi yang harus pulihkan. Di sini ada kerugian negara,” ujar pria yang akrab disapa Rupang ini.

Rupang sependapat aktivitas galian C ilegal harus ditutup. Dampak negatif dari penambangan pasir tak hanya merusak lingkungan, bahkan bisa mengancam keselamatan warga setempat.

 

Tambang pasir ditutup petugas gabungan

 

Dilema Sosial

AKTIVITAS galian C di jalan Flores bukan hal baru. Sudah lebih 2 dekade material pasir dari kawasan ini ikut serta membangun peradaban di Bontang. “Sebelum Bontang jadi kota madya, sudah ada,” ujar Gun salah satu sopir truk muatan pasir.

Kondisi bentang alam Bontang memang rendah. Dari data yang dihimpun tingkat kemiringan daerah ini 0-120 meter di atas permukaan laut (dpl). Samarinda jauh lebih tinggi, puncaknya mencapai 200 meter dpl.

Komposisi topografi di Bontang pun beragam. Wilayah datar di Bontang meliputi 48 persen dari total wilayah, sedangkan lokasi bergelombang hingga curam mencapai 51 persen.

Atas dasar tersebut, Bontang memang memerlukan banyak timbunan pasir untuk kegiatan konstruksi. Apalagi sejumlah wilayah berada di kawasan rawa-rawa.

Ketua Forum Komunikasi Pengusaha Lokal Bontang, Frans Micha mengatakan dampak penutupan tambang pasir akan menggangu kegiatan konstruksi di Bontang.

Pasokan pasir dari galian C dari jalan Flores menjadi sumber utama pasir urukan untuk kegiatan di Bontang, termasuk kegiatan fisik yang bersumber dari APBD Kota Bontang.

“Bisa terganggu proyek di Bontang kalau ditutup,” tandasnya.

Di sisi lain, ada dampak sosial baru yang ditimbulkan dari penutupan tambang pasir di jalan Flores. Persatuan Leveransir Bahan Bangunan (PLBB) mencatat ada 312 sopir truk bergantung hidup dari lokasi ini. Penutupan tambang pasir tentu membuat perekonomian sopir terhimpit. 

Sekitar 1.248 jiwa keluarga sopir bisa kesulitan ekonominya. Imbas penutupan tambang galian C juga akan mempengaruhi para pengusaha toko material hingga buruh-buruh bangunan.

“Imbasnya seperti bola salju, karena berdampak kemana-mana, khususnya bidang konstruksi,” ungkap  Frans Micha.

Dalam kondisi normal sehari rata-rata muatan para supir bisa mencapai 100 kubik. Artinya, kurun setahun tanah galian C bisa mencapai 328.500 kubik. Jumlah ini bervariasi, dalam kondisi tertentu (investasi besar) bisa lebih banyak muatan.

Ketua PLBB, Ical mengatakan harga beli pasir dari tambang sebesar Rp 30 ribu. Kemudian ia jual ke konsumen seharga Rp 150 ribu, ini sudah termasuk ongkos BBM dan tenaganya.

Sebenarnya, ada sumber tambang pasir di wilayah Kutai Timur. Hanya saja, sopir mengaku harga penjualan akan meningkat 2 kali lipat.

Pasalnya, lokasi tambang cukup jauh dari kota. Sopir harus memutar sejauh 10 kilometer untuk pulang pergi lokasi tambang. “Biayanya lebih mahal,ongkos solar dan harga belinya pun tinggi Rp 80 ribu sekali muat,” ungkapnya.




TINGGALKAN KOMENTAR