Legalisasi Penggusuran dan Potensi Korupsi di Balik Mega Proyek Ibu Kota Negara
KLIKKALTIM.com -- Pada seorang jurnalis media, seorang bapak dari Desa Semoi Dua yang berbatasan langsung dengan kawasan konsesi PT. IHM (konsesi yang direncanakan sebagai ibu kota baru), menyatakan tersanjung bila di dekat desanya akan dibangun istana negara. Namun, kebahagiaan itu mungkin akan pupus bila beliau tahu, setelah pasak-pasak beton ditanam, desa kecil itu bukan lagi rumahnya.
Desa Semoi Dua merupakan buah air mata generasi transmigran pada tahun 70-an, ketika transmigran dari Pulau Jawa menempuh jarak yang begitu jauh ke lokasi terpencil, hanya untuk menemukan perumahan yang dijanjikan pemerintah saat itu dalam kondisi tertutup penuh ilalang tinggi, bahkan atapnya pun tak tampak.
Kehidupan betul-betul mereka mulai dari nol. Kemudian, beberapa dekade berlalu, komunitas transmigran berhasil bertahan hidup, berkeluarga, berkembang. Dikabarkan, pendataan atas tanah terakhir kali dilakukan oleh pemerintah tahun 1984. Bisa dibayangkan kini banyak keluarga yang tidak memiliki Surat Kepemilikan Tanah.
Berdasarkan Rancangan Undang-undang Pertanahan yang tengah disodorkan pemerintah ke DPR, jika tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, maka otomatis menjadi milik negara.
Hal ini merupakan praktik politik agraria zaman kolonial. RUU tersebut mempersulit peluang penyelesaian konflik lahan dan dikhawatirkan justru akan muncul peradilan pertanahan. Pengadilan pertanahan bersifat legalistik, hukum positif semata.
Jika hal tersebut terjadi maka otomatis petani, masyarakat adat, buruh tani, yang menurut hukum positif itu ilegal, sulit memperoleh keadilan. RUU Pertanahan yang sedang diajukan saat ini, merupakan ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran.
Sementara itu, revisi UU Minerba pada bagian penjelasan pasal 99 ayat 2 berpotensi menguntungkan dan menjadi modus pemutihan atau cuci dosa perusahaan pertambangan batu bara terkait kewajiban pemulihan oleh pemegang izin tambang di kawasan IKN. Dalam pasal ini, peruntukan lahan pasca-tambang dapat digunakan untuk irigasi dan objek wisata.
Pemerintah pun rentan untuk digugat jika melakukan pencabutan izin secara sepihak tanpa memberi kompensasi kepada pihak perusahaan. Bisa dibayangkan, negosiasi urusan IKN hanya terjadi antara pemerintah dan perusahaan tanpa melibatkan rakyat.
Kesan kuat bagi-bagi proyek dalam pemindahan ibu kota terjadi bersamaan dengan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui kontroversi pemilihan komisioner baru maupun dengan revisi undang-undang KPK.
Tanpa dibekali oleh kewenangan penuh untuk menyadap dan hilangnya independensi KPK, mustahil pengawasan dan pemberantasan korupsi dalam mega proyek dapat berjalan maksimal.
Sumber : Jatam
Ikuti berita-berita terkini dari klikkaltim.com dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: