•   25 April 2024 -

Imun Kebudayaan

Humaniora - Redaksi
27 November 2021
Imun Kebudayaan Nasrullah, pengajar di Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Samarinda

Ditulis oleh Nasrullah, pengajar di Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Samarinda. 

Tema dan topik tentang kebudayaan belakangan ini semakin seksi saja. Beberapa kalangan seperti tertarik dan menyempatkan diri untuk membincangkannya di ragam kegiatan. Jika ditelisik dengan seksama, seperti ada kecemasan dan kekhawatiran kultural (cultural anxiety) yang melanda masyarakat kita. Mungkin krisis identitas. Barangkali juga terkait paras kapasitas literasi budaya yang dimilikinya. Cemas dan khawatir adalah hal manusiawi lagi normal pada setiap manusia dan suatu masyarakat. 

Barangkali, karena derasnya perjumpaan gelombang kebudayaan, sehingga banyak orang “basah kuyup” dan “tunggang langgang” — meminjam istilah Alwy Rachman dan Anthony Giddens — di tengah - tengah lemah dan tipisnya kapasitas literasi budaya yang hidup di masyarakat . Ada semacam ujian atau seperti seleksi semesta terhadap manusia yang selama Renaisans mendaku begitu adidaya. Pandemi dan globalisasi seperti dua sisi mata uang yang sama sama gelagatnya bekerja.

Seperti pandemi virus korona yang menyerang manusia dua tahun terakhir, sesungguhnya begitu pula pandemi budaya atau lazim dikenal sebagai globalisasi budaya bekerja. Gelombang serangannya massif dan menyeleksi siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Siapa yang mampu bertahan, siapa yang tumbang lalu menghadap “Tuhan”. Kata kuncinya adalah kapasitas dan imunitas. 

TVRI Kalimantan Timur pada 24 November 2021 mengadakan Obrolan Santai Siang Hari pada program yang diberi nama Ngapeh. Tema yang diangkat mengenai Korean Wave atau yang lazim dikenal dengan gelombang budaya Korea. Topik tepatnya adalah “Dampak Korean Wave Terhadap Seni dan Budaya Lokal”. Pembicara yang dihadirkan adalah saya sendiri sebagai peneliti budaya dan ketua Dewan Kesenian Daerah Kaltim, Syafril Teha Noer. 

Dari topik yang diangkat, terlihat jelas bahwa ada semacam keprihatinan kultural. Suatu keprihatinan akan adanya pengaruh yang diberikan oleh gelombang ekspansi budaya Korea yang sedang mengglobal. Tak terkecuali di Indonesia, dan Kalimantan Timur, khususnya. 

Sebelumnya, pada tanggal 6 November 2021, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M Unmul) mengadakan dialog publik mengenai modernitas dan identitas. Barangkali yang dimaksud adalah identitas lokal, ataupun lokalitas. Sebagaimana dalam kajian posmodern, modernitas sering dioposisi binerkan dengan lokalitas, bukan dengan identitas yang cakupannya terlalu luas. 

Tema besar yang diangkat LP2M Unmul tersebut tepatnya adalah Antara Modernitas dan Identitas: Membincang Kesiapan IKN Baru dalam Perspektif Lintas Budaya Nusantara. Adapun unsur yang dihadirkan dan diberi kesempatan berdialog pada acara tersebut adalah dari unsur akademisi Unmul, Dewan Kesenian Daerah Kaltim, Penulis dan Seniman , Ketua Komisi IV DPRD Kaltim yang membidangi masalah kebudayaan, dan juga dari Lembaga Adat Dayak di Paser. 

Dari tema yang dipilih dan pembicara yang dihadirkan, dapat dibaca bahwa keberadaan IKN Baru menjadi perhatian utama dalam kegiatan yang dilabeli dialog publik ini. Tema yang dipilih sebetulnya menarik, meski sedikit rancu dengan kurang paralelnya antara modernitas dan identitas sebagai topik besar. Lain cerita ketika modernitas ‘dibenturkan’ denga lokalitas atau identitas lokal, tentu pembaca akan dengan menebak arah diskusi yang akan terjadi, yakni bagaimana modernitas yang akan hadir di IKN Baru berpengaruh pada lokalitas masyarakat di Kalimantan Timur. Kira - kira begitu. 

Selain modernitas calon IKN Baru dan lokalitas Kaltim, istilah kunci selanjutnya sebenarnya tak kalah pentingnya. Yakni, “perspektif lintas budaya nusantara”. Artinya, ada asumsi akan terjadi perjumpaan budaya dan atau silang budaya di calon IKN Baru nantinya. Olehnya, bagaimanakah itu disikapi dan dihadapi? Kira - kira begitu pertanyaan dasar yang mengemuka pada diskusi tersebut. 

Baik obrolan santai di TVRI Kaltim maupun dialog publik oleh LP2M Unmul di atas sama sama mengindikasikan satu topik kebudayaan yang sama. Yaitu, kekhawatiran tergerusnya kebudayaan lokal. Terkhusus lagi kebudayaan lokal di Kaltim. Itulah yang saya tangkap setelah menyimak dan mengikuti percakapan di dua acara tersebut. Menarik. 

Sebagaimana lazimnya, konsekuensi dari kecemasan budaya (cultural anxiety) adalah munculnya pertanyaan yang nyaris sama pula: bagaimana bertahan dan tetap lestari? Di sini, mau tidak mau, suka tidak suka, survivalitas kebudayaan atau daya tahan budaya menjadi perbincangan. Ditambah lagi, kosa kata lama yang masih sering digunakan adalah bagaimana agar tetap lestari? Jawabannya sudah bisa ditebak: perlu pelestarian budaya. 

Namun, sungguhkah hanya survivalitas budaya dan pelestarian budaya adalah jawabannya? Mengapa harus bertahan atau dipertahankan dan dilestarikan kebudayaan itu? Apakah agar identitas lokal tidak tergerus? Anggaplah demikian, identitas lokal yang ingin dipertahankan dan dilestarikan, pertanyaannya kemudian — meminjam pandangan Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan RI dalam sebuah diskusi  — adalah budaya lokal yang mana? Identitas yang seperti apa? Di posisi ini, pertanyaan – pertanyaan kritis ala cultural studies (kajian budaya) tak bisa tidak mengemuka untuk menggeledah apa di balik kosa kata ketahanan dan pelestarian tersebut, dan bagaimana mewujudkannya? Strategi, kebijakan dan siasat kebudayaan seperti apa yang mesti diambil? 

Kembali ke soal pertanyaan kritis di atas, masih menurut Hilmar Farid, pertanyaan dasar yang mesti dijawab adalah untuk “kepentingan” apa kebudayaan (lokal) itu dipertahankan dan dilestarikan? Itu dulu yang perlu dijawab. Andai misalnya, jawaban pada umumnya adalah “agar identitas budaya kita tidak tergerus atau tidak  hilang”, maka pertanyaan kritis Pak Dirjen atau sosok yang sering disapa Bang Fay itu bisa berlanjut dengan: apakah benar suatu budaya dan identitas bisa tidak tergerus (baca: terpengaruh) oleh budaya luar yang datang dan berjumpa dengannya? Pun, jika berubah ataupun tergerus sehingga menghasilkan budaya baru, lantas kenapa? Apakah serta merta menjadi hal yang “buruk”? Tak Pelak, esensialisme dalam memandang kebudayaan inilah yang sesungguhnya ingin disasar oleh Pak Dirjen pada argumen dan pertanyaan - pertanyaan kritisnya di atas. 

Lanjut, menjawab pertanyaan untuk apa sebuah kebudayaan dipertahankan dan dilestarikan, Hilmar Farid menegaskan pada kesempatan yang sama itu bahwa mempertahankan dan melestarikan suatu praktik dan identitas budaya bukanlah untuk kebudayaan itu sendiri, melainkan karena tindakan melestarikan dan mempertahankan praktik kebudayaan tersebut memberikan implikasi ideologis dan

material. Maksudnya, mempertahankan praktik bertani berladang berpindah pada masyarakat Dayak misalnya, bukan sekedar agar praktik bertani berladang berpindah itu tetap ada semata, namun yang perlu digali adalah manfaat apa yang diberikan secara kebudayaan dengan adanya praktik berladang berpindah tersebut. Kesinambungan (sustainibilitas) unsur hara tanah di lahan bergambut misalnya. 

Atau, misalnya ritual sedekah sungai atau sedekah laut, mengapa perlu dipertahankan dan dilestarikan? Ketimbang tergelincir kepada komodifikasi  budaya dan artifisialisasi (membendakan) budaya semata melalui agenda festival tahunan, maka penting digali alasan yang memiliki aspek keberlanjutan (sustainibilitas) dari praktik ritual tersebut. Misalnya, selain rasa syukur terhadap kehidupan yang diberikan oleh sungai dan laut, ritual tersebut sekaligus mengandung perintah budaya (cultural imperative) untuk menjaga keberlanjutan kehidupan ekosistem sungai dan laut agar tetap dapat memberikan kehidupan kepada generasi – generasi hari ini dan generasi selanjutnya. 

Dengan demikian, praktik pemaknaan yang berdasar dari ideologi kebudayaan menjadi penting diketengahkan dalam pendiskusian mengapa suatu kebudayaan mesti bertahan dan lestari? Bukan untuk kepentingan eksistensi kebudayaan itu sendiri secara esensialis, namun apa implikasi berkelanjutannya (sustainibilitas) di balik kecemasan apakah suatu kebudayaan tetap mampu bertahan dan lestari tersebut? Karena, jika harus berubah pun tak mengapa. Yang pasti, perubahan tersebut memberikan manfaat keberlanjutan. 

Bagaimanapun, perubahan kebudayaan akibat perjumpaan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Siapa kita hari ini adalah kita di masa lalu yang berjumpa dan berhibridasi dengan pengetahuan dan kebudayaan lain dari apa yang kita miliki sebelumnya. Gerak dinamika sejarah kebudayaan kita adalah sejarah tentang perjumpaan dan percampuran kebudayaan (cultural encounter dan cultural hibridation). Nyaris tidak ada yang benar – benar asli atau otentik. 

Soal seberapa banyak kita berubah dari perjumpaan dan negosiasi budaya itu, tergantung seberapa kuat “imun kebudayaan” kita sebelumnya. Seperti kondisi kesehatan masyarakat pasca-pandemi (post-pandemic culture) yang mengenal kondisi dan istilah normal baru (new normal), realitas kebudayaan kita pun demikian. Selalu ada kondisi normal baru setiap ada perjumpaan bahkan setiap ada “guncangan” besar. Tergantung seberapa kuat “imun kebudayaan” bersiap dan bersigap bekerja di setiap perjumpaan dan guncangan kebudayaan itu. Tak perlu cemas, “siap”-kan saja imun kebudayaan agar “sigap” menghadapi setiap perubahan budaya. 




TINGGALKAN KOMENTAR