•   07 May 2024 -

Dibalik Aksi Berbahaya Pemuda Selambai & Keharusan Hidup Akur dengan Buaya

Bontang -
12 Maret 2021
Dibalik Aksi Berbahaya Pemuda Selambai & Keharusan Hidup Akur dengan Buaya Petugas merelokasi seekor buaya dari perairan Selambai. Buaya ini disebut sudah menyerang 2 bocah di sana.

KLIKKALTIM.COM – Aksi para remaja di Selambai, Kelurahan Lok Tuan yang mencoba tangkap buaya viral di dunia maya.

Peristiwa itu direkam dan disebarluaskan ke media sosial, Jumat (11/3/2021).

Di dalam rekaman itu, puluhan remaja menggunakan seutas tali yang pangkalnya tersimpul di moncong buaya. Mereka bersusah payah mengangkat buaya berukuran besar dari permukaan air ke atas jembatan. Pun akhirnya, usaha mereka sia-sia.

Buaya seukuran dua pria dewasa itu terlalu berat. Pun ganas bagi kelompok pemuda tanpa kemampuan khusus.

Kemunculan buaya ini terjadi, selang beberapa hari setelah buaya penyerang 2 bocah setempat direlokasi oleh petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Buaya, hewan teritorial. Ketika penguasa wilayah menanggalkan daerah kekuasaanya. Akan muncul buaya lain untuk mengisi kekosongan itu.

"Tidak bisa terus kita pindahkan karena akan merusak ekosistem," ujar Kepala Resort Bontang-Sangatta, BKSDA Kaltim, Witono saat dikonfirmasi.

Aksi remaja itu puncak dari rangkaian serangan buaya yang terjadi di wilayahnya. Catatan klikaltim, sejak 2015 sudah ada 8 kali serangan terjadi di sana.

Aksi Berbahaya dan Terlarang

Upaya pemuda Selambai ‘mengamankan’ tergolong tindakan melawan hukum. Buaya masuk dalam jenis satwa dilindungi. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya pun bisa terjerat 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Kendati, di dalam pasal lain UU Nomor 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur pengecualian.

Hewan yang bisa ditangkap kecuali membahayakan kehidupan manusia. Masalahnya, warga sulit mengindentifikasi buaya mana yang memicu ancaman itu.

“Kalau menurut UU Nomor 5/1990 pasal 21 ayat 2 huruf (a) jelas dilarang,” ungkap Polisi Kehutanan Pelaksana, Surya Darmawan kepada klikkaltim.

Kepala Balai Taman Nasional Kutai, Nur Patria menilai aksi remaja itu berbahaya dan sangat tidak dianjurkan.

Binatang buas harus ditangani oleh ahlinya. BKSDA memiliki kapasitas untuk mengatasi itu serta peralatan mereka mumpuni.  

“Lebih baik kalo menangkap buaya itu minta ke BKSDA karena mereka sudah ahlinya dan biasa melakukan. Krn ini binatang buas,” pungkasnya.

Keselamatan Nelayan

Pangkal aksi remaja itu bukan tanpa sebab. Rangkaian teror buaya bagi pemuda setempat sudah berada di titik kulminasi.

Reaksi mereka pun mencapai pucaknya. Habitat baru buaya di Selambai sudah sangat dikeluhkan warga. Ancaman serangan buaya selalu menggelayut di benak mereka.

Ahmani misalnya, warga RT 03, Selambai mengaku cemas. Sejak wilayahnya didatangi buaya aktivitasnya di air selalu menyeramkan. Padahal, laut satu-satunya pendapatan bagi keluarganya.

“Kaya apa kalau tidak melaut, mau makan apa,” ujar Ahmani.

Warga lainnya, Ansar juga mengaku was-was. Rumahnya tepat berdiri di atas air. Sejak teror buaya, ia mulai tak nyaman. Rutinitas yang acap kali dilakukan sejak lama mulai ditinggalkan.

“Kita kalau berenang-berenang sudah takut,” ungkapnya.

Hidup Berdampingan dengan Buaya

Buaya memilih Selambai karena sajian istimewa mudah diperoleh di sana. Pemuncak rantai makanan itu tak perlu repot berburu. Warga sekitar menyediakan kudapan lezat baginya.

Seperti cuplikan video yang ramai tersiar. Buaya lahap menelan ikan yang diberikan warga dari atas jembatan.

“Buaya datang karena kebiasaan sering dimainin dan dikasih makan. Hal ini akan terus berulang kalau kebiasaan tidak diubah,” ujar Pengendalian Ekosistem Hutan (PEH), BKSDA Kaltim, Ridho

Penyadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Memberi makanan bagi satwa salah kaprah. Seiring waktu, buaya makin betah berlama-lama di sana.

Masyarakat harus menerima hidup berdampingan dengan satwa buas itu. Muara di sekitar Selambai, menjadi wilayah idaman bagi mereka.

Pemerintah dan warga harus kompak. Konflik satwa dengan manusia akan terus terjadi jika kebiasaan buruk terus dilakukan.

“Karena muara dan jalur laut di sana memang habitat buaya. Harapan masyarakat bisa hidup berdampingan, dalam arti tidak terjadi konflik,” pungkasnya.




TINGGALKAN KOMENTAR