•   21 February 2025 -

PT. Borneo Grafika Pariwara

Jl. Kapt Pierre Tendean, RT 02 No 9, Kelurahan Bontang Baru
Kecamatan Bontang, Kota Bontang, Kaltim - 75311

[OPINI] Ancaman Masa Depan Bangsa: Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025 dan Ironi Janji Pemerintah

Opini - Redaksi
14 Februari 2025
 
[OPINI] Ancaman Masa Depan Bangsa: Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025 dan Ironi Janji Pemerintah Ilustrasi - Pemangkasan Anggaran Pendidikan/ChatGPT

Oleh: Andi Muhammad Awaluddin Alhaq 
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya menghasilkan individu cerdas, tetapi juga menciptakan peradaban yang maju. Namun, di negeri ini, pendidikan tampaknya hanya menjadi sekadar retorika manis di panggung politik. Ironinya, pemerintah yang berjanji akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia justru menjadi algojo bagi masa depan generasi muda dengan memotong anggaran pendidikan secara brutal pada tahun 2025.

Pemangkasan ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah serangan langsung terhadap akses pendidikan bagi masyarakat menengah ke bawah. Ketika Beasiswa KIP-Kuliah dipotong Rp1,31 triliun (9%), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dikurangi 10%, Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) juga berkurang 10%, serta Beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (KNB) dan beasiswa dosen yang masing-masing dipangkas 25%, pemerintah seolah mengatakan kepada anak bangsa: "Maaf, pendidikan bukan prioritas kami."

Janji Manis yang Beracun

Mari kita mengingat sejenak berbagai janji kampanye pemerintah. Dengan gagah berani, mereka mengumandangkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, ketika giliran membuktikan, yang terjadi justru pemangkasan dana secara sistematis. Adagium hukum "Lex dura, sed tamen scripta" (Hukum itu keras, tetapi tetaplah hukum) seakan berubah menjadi "Janji itu suci, tapi tak harus ditepati."

Pemerintah berdalih bahwa ini adalah bagian dari "efisiensi anggaran." Tapi efisiensi macam apa yang mengorbankan pendidikan, sementara anggaran infrastruktur tetap mendapat porsi besar? Kita semua tahu, batu bata dan aspal tidak akan mencerdaskan bangsa. Sementara itu, anak-anak cerdas dari keluarga kurang mampu yang menggantungkan harapan pada beasiswa dipaksa menelan pil pahit: mimpi mereka menjadi korban kalkulasi anggaran.

Universitas atau Institusi Bisnis?

Pemotongan anggaran ini juga berdampak pada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kampus yang kehilangan subsidi dari pemerintah akan mencari cara lain untuk menutupi kekurangan, dan mahasiswa menjadi target empuk untuk dimintai "sumbangan" dalam bentuk UKT yang semakin melangit. Prinsip pendidikan sebagai hak dasar seolah berubah menjadi "barang dagangan" yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar.

Hukum pun seolah dibungkam dalam persoalan ini. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan seakan hanya menjadi pemanis dalam konstitusi. Jika pemerintah benar-benar menjunjung tinggi hukum, seharusnya yang dilakukan adalah memperkuat anggaran pendidikan, bukan malah mempretelinya.

Riset dan Inovasi: Mati Perlahan

Jika pendidikan tinggi adalah gerbang kemajuan, maka riset adalah kuncinya. Namun, dalam skenario ini, pemerintah tidak hanya menutup gerbang, tetapi juga membuang kuncinya ke dalam jurang. Dari total anggaran riset Rp1,2 triliun, hanya 7% proposal penelitian yang bisa didanai. Dan sekarang, dengan pemangkasan anggaran riset, jumlahnya akan semakin menyusut.

Kita tidak perlu terkejut jika suatu hari nanti Indonesia semakin tertinggal dalam inovasi global. Kita juga tidak perlu heran jika para ilmuwan dan akademisi kita memilih hengkang ke luar negeri demi mendapatkan dukungan yang lebih baik. Pemerintah dengan kebijakan ini seperti berkata, "Jika ingin jadi ilmuwan, cari negara lain yang mau membiayai risetmu."

Negara dan Pendidikan: Kegagalan Kebijakan Publik

Adagium hukum klasik Salus populi suprema lex esto (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi) seharusnya menjadi prinsip utama dalam penyusunan kebijakan. Namun, dengan pemangkasan anggaran ini, justru yang terjadi adalah kebijakan yang mencederai kesejahteraan rakyat. Pendidikan adalah hak, bukan barang mewah yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkantong tebal.

Pemotongan anggaran ini menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam memahami esensi pendidikan sebagai alat pembangunan bangsa. Pemerintah yang seharusnya hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa justru bertindak sebagai penghambatnya.

Kesimpulan: Negara Menyelamatkan Anggaran, Tapi Mengorbankan Masa Depan

Pendidikan bukanlah beban keuangan yang harus "diefisiensikan," melainkan investasi yang akan menentukan masa depan bangsa. Dengan pemangkasan anggaran ini, pemerintah seolah lebih memilih jalan pintas untuk "menyelamatkan" APBN, tetapi mengorbankan jutaan pemuda yang berharap bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka dalam beberapa tahun ke depan, kita akan melihat dampaknya: akses pendidikan yang semakin terbatas, biaya kuliah yang makin mencekik, riset yang mati suri, dan generasi muda yang kehilangan harapan.

Pertanyaannya, apakah kita akan diam saja membiarkan hal ini terjadi? Atau kita akan menagih janji pemerintah yang telah mengkhianati cita-cita pendidikan nasional?

Seperti kata pepatah Latin, Fiat justitia ruat caelum (Keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh). Maka, sudah saatnya mahasiswa, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat bersuara. Jangan biarkan pemerintah bermain-main dengan masa depan kita!






TINGGALKAN KOMENTAR