•   20 May 2024 -

Pidato Jokowi Saat Sidang Istimewa Diwarnai Intimidasi Wartawan dan Penangkapan dan Pemukulan Buruh

Nasional -
18 Agustus 2019
Pidato Jokowi Saat Sidang Istimewa Diwarnai Intimidasi Wartawan dan Penangkapan dan Pemukulan Buruh Jumpa Pers GEBRAK di YLBHI, Jakarta (17/8/2019), menindaklanjuti penangkapan massa buruh disertai kekerasan polisi dan meminta Kompolnas dan Komnas HAM menyelidiki kasus tersebut

KLIKKALTIM -- 21 Demonstran yang tergabung dalam Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) telah dibebaskan Polda Metro Jaya Jumat petang (16/8/2019). Menurut keterangan Jubir Gebrak saat jumpa Pers di kantor YLBHI, Jakarta (17/8/2019) penangkapan sejumlah massa buruh dan dua Mahasiswa terjadi di Halte seberang gedung DPR RI saat menunggu rekan massa buruh dari arah Bekasi dan Tanjung Priuk, Jakarta Utara dan sempat diadang petugas.

Penangkapan juga terjadi di depan kantor TVRI Senayan pada pukul 11.30 WIB. Kendati begitu, unjuk rasa (Unras) menolak Revisi Undang Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 tetap berjalan dengan penjagaan ketat Polisi dan TNI.  

Dikonfirmasi media ini, salah satu Jubir GEBRAK, Akbar Rewako mengatakan, kendati rekannya telah dibebaskan Polda Metro Jaya dari penangkapan Satuan Resmob. Namun, barang elektrik lima Handphone (HP) masih disita Polisi tanpa alasan yang jelas tak mendasar dan melanggar privasi publik.

Sementara itu dalam keterangan Persnya di YLBHI, Jakarta, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos menjelaskan. Penolakan Revisi UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 bukan tanpa dasar. Selain karena tidak melibatkan Serikat Pekerja dalam merumuskan draf revisi. Revisi tersebut juga sarat dengan kepentingan pengusaha yang hanya cari untung besar dengan menanggalkan perlindungan kepastian kerja dan kesejahteraan kaum buruh.

Reformasi birokrasi didalam jajaran pemerintahan seharusnya dikerjakan secara konsisten. Masalah terhambatnya investasi dan pemenuhan kuota ekspor produk seperti dijelaskan Presiden RI, Jokowi dalam pidato kenegaraannya lantaran rumitnya birokrasi. Namun kenyataannya, Draf revisi UU Ketenagakerjaan sarat dengan pelemahan posisi buruh atau pekerja di lapangan produksi.

PP 36 tentang Pemagangan dan PP 78 adalah bukti nyata Pemerintah condong kepada kepentingan modal dan gagal melindungi buruh serta keluarga buruh yang sudah jelas berimpilikasi terhadap belanja pangan, kesehatan, pendidikan dan hiburan.”Tindakan refresi aparat terhadap pengunjuk rasa menunjukkan pemerintah anti terhadap usulan dan kritik,” ujar Nining sapaannya itu.

Lebih lanjut kata Nining, buntut dari penangkapan(Piting, pukul, tendang, ludah) massa aksi GEBRAK tersebut akan dilaporkan ke Komnas HAM dan Kompolnas untuk kemudian ditindak sesuai peraturan yang berlaku. Sebab menurut Nining, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat diatur Undang-Undang. Sudah sepatutnya penegak Hukum menjaga marwah Hukum Indonesia untuk melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat terlebih buruh yang sedang berunjuk rasa dan dilindungi UU.”GEBRAK menyerukan agar rakyat Indonesia melakukan konsolidasi gerakan dan menolak segala tindakan aparat,” tambahnya.

Tindakan refresif dalam aksi damai buruh kerap berbuntut masalah. Tak hanya korban luka-luka dan penjeblosan ke jeruji besi tanpa pengadilan.  Namun Nining juga mengungkapkan, satu anggotanya dari Serikat Bidan Desa pernah mengalami keguguran lantaran tindakan Polisi di lapangan berlaku berlebihan saat unjuk rasa di KemenPAN –RB, Jakarta.”Pemisahan TNI dan Polri pasca Reformasi 1998 tak membuat pengaruh besar hingga saat ini,” bebernya.

Sementara itu Nelson LBH Jakarta berpandangan, penangkapan massa aksi gabungan buruh dan mahasiswa terjadi sejak tahun 2016 saat menolak pp 78, aksi hari buruh 2017 dan 2019 penghadangan aksi unjuk rasa kembali terjadi, misalnya saja penangkapan tahun ini saat peserta may day May Day. Pola yang sama  tiak demokratis, pembubaran terhadap warga Indonesia yang ingin menyampaikan aspirasi di jalanan menuju kantor Pemerintahan adalah preseden buruk bagi iklim Demokrasi di Tanah Air. Parahnya lagi menurut Nelson, aksi unjuk rasa belum berlangsung.”Polisi bertindak berdasarkan hukum dan menjadi kontrol bagi masyarakat demokratis. Tapi malahan ekspresi masyarakat melalui Demonstrasi disuruh bubar. Mungkin dia bukan polisi,” Heran Nelson.

Selain itu kata Nelson, tidakan refresif ini seolah hanya melayani selera penguasa. Tinggkat hirarki ini dinilai kepolisian dari tingkat Polsek hingga dipucuk pimpinan Kapolri bertanggung jawab kepada Presiden. Tak dapat dipungkiri, pada akhirnya benturan aparat dan rakyat banyak menelan korban dari pihak masyarakat yang tidak ingin berurusan dengan aparat dan hanya memperjuangkan masa depannya. Peristiwa pada tanggal 16 Agustus 2019 tak seharusnya terjadi terhadapa aksi unjuk rasa damai buruh.”Padahal hari Selasa (13/8/2019) Aliansi GEBRAK sudah mengirim surat pemberitahuan, kendati ditolak Polisi, tidak ada dalam aturan Polisi menolak Aksi unjukrasa yang sudah jauh hari sebelumnya dipersiapkan. Tindakan ini menunjukkan pemerintah ke arah otoritarian,” kata Nelson.

Sementara itu di lokasi yang sama, Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Dian Septi menjelaskan, seharusnya kemerdekaan semakin mengarah kepada luas keterbukaan masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Menurut Dian sapaannya itu, Jokowi alergi terhadap rakyatnya dan tidak dengan pengusaha  karena tidak menghargai kemanusian. Sejatera bukan hanya bisa makan tapi lebih dari itu. Anehnya lagi, polisi melarang unjukrasa buruh karena unras pada hari kemerdekaan dan disarankan unjukrasa setelah tanggal hari kemerdekaan dimana saat itu, Presiden sedang pidato yang katanya rumah rakyat. “Pidato inikan untuk rakyat, kenapa rakyat dipukuli?. Apakah kemerdekaan itu memukuli rakyat dan tidak boleh mengkritik dan hanya boleh berdialog saja? Tidak begitu bukan ?,” papar Dian.

Sementara itu, Elena dari Serikat Media Kreatif Indonesia untuk Demokrasi (SINDIKASI) turut Revisi UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun2003 karena logika kerja fleksibel. Fleksibel yang dimaksud menurutnya hanya buat pemerintah dan pengusaha karena dengan gampang membuang pekerja dan tidak ada perlindungan bagi pekerja. Membentuk pekerja dengan upah murah. Revisi ini membuat pengusaha terlebih aseng.”Penerapan revisi UU ini pengusaha bebas memperlakukan pekerja dengan seenaknya saja,” terang Elena.

Media digital saat ini memasuki industri dan tentu saja menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja muda, berpendidikan dan berupah murah sedang digodok pemerintah melalui celah Revisi UU Ketenagakerjaan ini. Bahkan revisi UU tersebut bakal memberikan tujuh bulan gaji kepada pekerja yang dipensiunkan.”alhasil mau tidak mau pekerja media dan kreatif harus bekerja di luar jam kerja tanpa lembur, terlebih tak ada pesangon kepada mereka yang terPHK,” urainya.

Terkait intimidasi dan pelarangan terhadap pewarta, Elena mengecam tindakan tersebut. Padahal menurutnya pekerjaan jurnalis dilindungi UU Pers. Kendati sudah menunjukkan identitas pers namun tetap saja merampas HP dan menghapus reportase jurnalis.”Jurnalis tidak mendapat perlindungan hukum. Malahan Polisi saat ini lebih banyak melakukan kekerasan terhadap wartawan yang sedang meliput,” sesal Elena.

Selain itu, Yogi dari YLBHI mengatakan, Presiden Jokowi menyatakan dalam pidatonya kenegaraanya tentang kondusifsifnya buruh bekerja dan berkarya dengan baik. Namun kenyataan diluar berbeda, inipun hanya ilusi. Upaya penghadangan rakyat  hanya untuk kepentingan menggenjot investasi.”Kebebasan berpikir, ekpresi dihambat sama saja. Harusnya Humanis. Namun brutal, jauh dengan cita-cita reformasi polisi melayani, mengayomi dan melindungi rakyat,” ucapnya.

Sementara itu, Konfederasi Serikat Nasional, Novariansyah menjelaskan, Polisi berdalih ingin mengamankan penyusup didalam aksi buruh. Mereka yang ditangkap berjumlah tujuh orang dan mendapat perlakuan sewenang-wenang, memang tak menggunakan seragam buruh seperti rekan buruh lainnya. Pun begitu sdauh ada penjelasan lisan, namun sayangnya polisi tak menghiraukan.”Mahasiswa (Pandu dan Rizki, Red) adalah calon buruh terdidik, siapapun yang ingin bergabung dalam aksi GEBRAK berarti memiliki visi yang sama untuk masa depan yakni, kesejahteraan bagi kaum buruh,” tutup Novariansyah.





TINGGALKAN KOMENTAR