•   03 May 2024 -

Beda Tuntutan Penikam Wiranto dan Penyiram Novel Baswedan

Penikam Wiranto Dituntut 16 Tahun Penjara, Kok Penyiram Novel Hanya Setahun?

Hukum & Kriminal -
16 Juni 2020
Penikam Wiranto Dituntut 16 Tahun Penjara, Kok Penyiram Novel Hanya Setahun? -

KLIKKALTIM- Sidang tuntutan kasus penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, sudah digelar. Terdakwa dalam kasus ini, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dituntut 16 tahun penjara.

Besaran tuntutan ini mendapat perhatian publik. Masyarakat jadi membandingkan tuntutan kasus ini dengan tuntutan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang dibacakan pada minggu lalu

Dalam kasus air keras, dua terdakwa dituntut 1 tahun penjara. Keduanya ialah polisi aktif Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Sorotan publik mencuat karena tuntutan dinilai terlalu ringan.

Meski sama-sama perbuatannya merupakan serangan terhadap seseorang, terdapat perbedaan dalam kedua perkara. Perbedaan yang mencolok ialah kasus penusukan Wiranto merupakan terorisme. Sementara kasus penyerangan Novel dianggap penganiayaan.

Selain itu, perbedaan kedua kasus yakni alat yang digunakan untuk menyerang, efek yang ditimbulkan, hingga pasal yang dijeratkan. Berikut ringkasannya:

Penusukan Wiranto

  • Terdakwa: Syahrial Alamsyah
  • Tuntutan: 16 tahun penjara

Pasal yang dinilai terbukti:

Dakwaan Pertama: Pasal 15 juncto Pasal 6 junto Pasal 16 A UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Dakwaan Kedua: Pasal 15 juncto Pasal 7 UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Ancaman hukuman:

Dakwaan Pertama: Paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidananya masih ada kemungkinan ditambah 1/3 lantaran diduga melibatkan anak.

Dakwaan Kedua: Pidana penjara paling lama seumur hidup.

Ringkasan perbuatan:

Abu Rara merupakan orang yang menusuk Wiranto dengan kunai. Peristiwa terjadi di Alun-Alun Menes, Pandeglang, Banten, pada Kamis, 10 Oktober 2019. Saat itu, Abu Rara juga sempat menyerang Pemimpin Pesantren Mathla'ul Anwar, Fuad Syauqi.

Menurut Dirut RSUD Berkah Pandeglang Firmansyah, Wiranto mengalami luka di bagian perut bawah akibat tusukan benda tajam. Namun, luka tersebut tidak dalam dan kondisinya relatif stabil.

"Itu ada dua tusukan, tapi belum sampai ke usus. Terkenanya itu di bagian lapisan peritoneum-nya. Kondisinya stabil," kata Firmansyah, Kamis 10 Oktober 2019.

Peritoneum adalah membran serosa tipis dan halus yang berfungsi menutupi sebagian besar organ abdomen (rongga perut) dan panggul. Lapisan ini berfungsi untuk menjaga agar organ-organ tubuh yang bersebelahan tidak saling bergesekan.

"Lukanya enggak terlalu parah," ucap Firmansyah.

Wiranto sempat dirawat di RSPAD karena peristiwa itu. Ia tampak kembali bekerja pada bulan Desember 2019 saat dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2019-2024.

Penyiraman Novel Baswedan

  • Terdakwa: Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis
  • Tuntutan: Masing-masing satu tahun penjara
  • Pasal yang dinilai terbukti: Pasal 353 ayat (2) KUHP (Dakwaan Subsider)
  • Ancaman Hukuman: Pidana penjara paling lama 7 tahun

Ringkasan Perbuatan:

Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis ialah dua polisi aktif yang menjadi terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Peristiwa terjadi pada 11 April 2017

Dalam pertimbangannya, jaksa menyatakan Rahmat bersama Ronny terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana sebagaimana Pasal 353 ayat (2) KUHP. Terencana yang dimaksud adalah kedua terdakwa yang terbukti memantau rumah Novel sebelum melancarkan aksinya.

Menurut jaksa, Rahmat Kadir menyiramkan air keras kepada Novel Baswedan yang baru pulang salat Subuh di Masjid. Sementara Ronny Bugis disebut merupakan pengendara motor yang membonceng Rahmat Kadir saat kejadian.

Penganiayaan pun dinilai menimbulkan luka berat. Sebab mengenai mata Novel.

Dalam pertimbangan tuntutan, jaksa tidak menjerat keduanya dengan dakwaan primer yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP yang ancaman maksimal hukumannya 12 tahun penjara. Sebab, jaksa beralasan Rahmat Kadir hanya bermaksud menyiramkan air keras ke badan Novel, namun secara tak sengaja air keras turut mengenai wajah penyidik senior KPK itu.

Sementara dalam pleidoi yang dibacakan kuasa hukum, kedua terdakwa menilai jaksa tidak bisa membuktikan dakwaan. Sehingga menurut mereka, hakim layak membebaskan kedua terdakwa.

Akibat peristiwa ini, Novel sempat dirawat di beberapa rumah sakit. Ia baru kembali bekerja di KPK setelah 16 bulan dirawat.

Meski demikian, mata kiri Novel disebut sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Sementara, mata kanan masih sama seperti sebelumnya. Namun kemampuan melihat hanya 60 persen dengan bantuan lensa khusus.

"Tim dokter yang selama ini menangani mata Novel menyatakan kondisi mata kiri tidak dapat diperbaiki lagi, karena kerusakan sebagian besar retina. Sehingga, kondisi terakhir mata kiri hanya dapat melihat cahaya," kata Plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat 7 Februari 2020.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai wajar muncul penilaian di masyarakat terkait kedua kasus tersebut. Masyarakat jadi membandingkan kedua tuntutan, meski secara pasal yang diterapkan berbeda.

"Memang inilah yang jadi pertanyaan masyarakat banyak, kenapa dalam perkara yang sama kok pidananya beda, itulah fakta hukum di Indonesia, tidak steril, tidak dalam ruang hampa. Makanya kemarin banyak yang merasa kecewa terhadap tuntutannya [penyerang] Novel," ujar Hibnu kepada wartawan, Selasa (16/6).

Menurut ia, reaksi masyarakat itu merupakan hal yang wajar karena dinilai ada ketidakadilan yang timbul. Terlebih, Novel mengalami luka berat pada matanya.

"Kehilangan panca indra itu luka berat loh, diatur dalam KUHP, itu cukup berat. Sehingga pidananya setidaknya setimpal, mudah-mudahan hakim mendengar semua ini, bahwa apa yang dituntutkan itu tidak sebanding dengan akibat yang terjadi," kata dia.

Ia pun berharap putusan hakim dapat memberi rasa keadilan. Menurut dia, hakim tidak terikat pada besaran tuntutan dan dapat menjatuhkan pidana maksimal sesuai pasal yang dinilai terbukti.

"Ini sangat ditunggu oleh masyarakat. Kalau sampai nanti putusan pengadilan itu adalah melebihi yang dituntutkan dan memaksimalkan yang diancamkan dalam pidana, ini akan pulih cerita hukum kita," pungkas dia.




TINGGALKAN KOMENTAR