•   20 April 2024 -

BI Ungkap Keperkasaan Rupiah yang Bikin Dolar Berdarah-darah

Ekonomi -
14 Januari 2020
BI Ungkap Keperkasaan Rupiah yang Bikin Dolar Berdarah-darah

KLIKKALTIM.com -- Pasar diwarnai dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pada pukul 12.00 WIB hari ini, Selasa (14/1/2020) nilai tukar rupiah dihargai di Rp 13.655/US$. Level tersebut merupakan terkuat sejak 22 Februari 2018 atau hampir dua tahun lalu.

Terhitung sejak akhir tahun 2019, rupiah telah menguat 1,62% di hadapan dolar. Penguatan rupiah yang tak terbendung ini membuat mata uang Sang Garuda ini layak dinobatkan sebagai jawara di Asia dan terutama bikin dolar berdarah-darah.

Sebenarnya apa alasan rupiah bisa perkasa seperti ini?

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan secara fundamental dan dalam konteks global, wajar bila rupiah berlanjut menguat sejalan dengan pergerakan mata uang regional dan emerging lainnya.

"Bukan dinamika global saja yang menjadi penopang penguatan Rupiah, tapi juga berbagai perbaikan di dalam negeri," papar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah, Selasa (14/1/2020).

Bila mempertimbangkan arah perkembangan ke depan, Nanang melanjutkan terkait perbaikan performa neraca pembayaran Indonesia, baik pada neraca transaksi berjalan dan neraca modal, jumlah cadangan devisa yang terus meningkat. Serta inflasi yang terjaga stabil dan rendah di bawah 3,0%, dan pergerakan mata uang seluruh Emerging Market yang juga seluruhnya menguat.

"Maka sudah sewajarnya secara fundamental rupiah bisa terus menguat."

"BI akan menyerahkan mekanisme penguatan rupiah pada kekuatan supply-demand pasar, sepanjang pergerakannya manageable. Dalam situasi terakhir ini, supply devisa banyak bersumber dari investor global dan eksportir," paparnya.

 

Investor Memburu Instrumen Emerging

Lebih jauh Nanang menjelaskan meningkatnya supply devisa dari investor global di satu sisi menggambarkan aksi perburuan imbal hasil tinggi (yield hunting) di tengah masih melimpahnya likuiditas global (sebagaimana tercermin dari terus membengkaknya aset pada neraca bank sentral AS, ECB, dan BOJ) dan rendahnya imbal hasil obligasi di nagara.

Aset bank sentral AS, the Fed, terus membengkak mencapai US$ 4,2 triliun, selain karena pembelian surat berharga pada saat krisis global 2008 tapi pembelian terus berlanjut terutama dalam bentuk Treasury Bill, yang artinya the Fed terus menggelontorkan likuiditas ke pasar. Demikian pula hal yang sama dilakukan bank sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan.

Saat ini terdapat penempatan dana dana investor di negara maju, terutama di Eropa senilai US$ 11,3 triliun dengan imbal hasil negatif.

"Jadi wajar bila investor global akan memburu instrument negara Emerging Market dengan imbal hasil yang tinggi seperti Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang saat ini menawarkan imbal hasil 6.85%," katanya.

"Dalam sepuluh hari terakhir saja, investor global membukukan net beli Rp 16,7 triliun di pasar sekunder SBN."

Namun, sambungnya, investor global tetap akan selektif dengan memilih negara emerging market dengan pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan prudent. Serta pemerintahannya menempuh langkah konkret untuk meningkatkan daya saing perkonomian negara.

"Indonesia saat ini tengah menjadi salah satu pilihan investor global terebut," terang Nanang.

 

Sumber : cnbcindonesia.com




TINGGALKAN KOMENTAR