•   29 April 2024 -

Bagian Satu: Siaran Radio yang Ubah Nasib Bhabinkamtibnas Lok Tuan, Aipda Ahmad Bajuri

Bontang - Fitri Wahyuningsih
18 Desember 2019
Bagian Satu: Siaran Radio yang Ubah Nasib Bhabinkamtibnas Lok Tuan, Aipda Ahmad Bajuri Aipda Bajuri kala mengajari anak-anak Selambai membaca. (Ist)

KLIKBONTANG.com -- Semua orang tentu mengimpikan masa depan cerah. Meraih kesuksesan. Membahagiakan diri dan orang-orang terkasih. Tetapi, tak semua orang berani mengambil langkah untuk mewujudkan itu. Karena dalam tiap derap langkah meraih mimpi  dan sukses, mesti diganjar dengan ribuan jatuh dan sakit, kerja keras serta konsistensi. Sukes tidak ujug-ujug jatuh dari langit. Ia diupayakan. Bila semua telah dilakukan, kini semua diserahkan pada sang Khalik. Sebab sebagai umat beragama, izin, ridho Tuhan adalah keniscayaan.

Demikianlah Bhabinkamtibnas Lok Tuan, Aipda Ahmad Bajuri (selanjutnya Bajuri) memandang setiap hal yang kini diraihnya. Ia masih memandang dirinya bukan siapa-siapa. Namun rasa syukur amat wajib dipanjatkan. Sebab ‘’Si Anak Petani’’ kini menjadi bagian dari lembaga kepolisian. Serta menjadi salah satu figur yang diamanahkan untuk berada di garda terdepan menjaga situasi keamanan dan ketertiban (Kamtibnas) di Kelurahan Lok Tuan, Kecamatan Bontang Utara.

Hingga kini Bajuri memandang dirinya bukan siapa-siapa. Ia masih Bajuri yang kemarin berjuang untuk meraih kehidupan lebih baik. Untuk seluruh pencapaiannya kini, ia memandang semua itu merupakan titipan. Kewajibannya ialah menjaga titipan tersebut sebaik-baiknya.

Dia tak ingin menjadi pribadi yang arogan. Sebab bila mengingat perjuangannya di masa lampau, arogansi hal yang sama sekali tak ingin ia sentuh.

Lahir dari keluarga berlatarbelakang petani di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Sejak usia belasan tahun Bajuri sudah ‘’ikut orang’’. Bekerja untuk meringankan beban orang tua dan menabung untuk pendidikan. Nada sumbang orang-orang yang memandang dirinya lantaran masa muda dihabiskan untuk bekerja sudah kebas di telinga Bajuri. Ia tidak peduli.

‘’Pokoknya saat itu saya berpikir, beban orang tua harus diringankan. Dan saya sudah harus mandiri sejak muda,’’ tegas Bajuri.

Sekira tahun 1998, Bajuri menyelesaikan pendidikan menengah atas. Di tahun itu pula, dengan bermodalkan ijazah di tangan, ia mengambil langkah berani. Menyeberang lautan, menantang ketidakpastian yang membentang di depan sana: merantau ke Sumatera. Kala itu Bajuri berusia 19 tahun.

Setibanya di Sumatera, dan mengabiskan waktu barang beberapa bulan, ternyata ia tak tahan. Bukan apa-apa, sebab bila mata memandang ke seluruh penjuru mata angin, yang nampak hanya pohon. Ya, Bajuri kala itu merantau di tengah ‘’ganasnya’’ belantara Sumatera.

‘’Saya berpikir kok tidak bisa bekembang kalau disini [Sumatera] terus. Tidak ada apa-apa. Makanya saya putuskan pulang [ke Nganjuk],’’ bebernya.

Pulang ke Nganjuk pun Bajuri tidak lama. Hanya kembali meminta ridho keluarga dan mengumpulkan modal. Jiwa pengembara kembali memanggil. Akhirnya pada tahun 1999, dengan Rp 200 ribu di kantong, Bajuri mantap menyeberang ke Kalimantan Timur. Tak muluk-muluk harapannya kala itu. Bajuri ingin mandiri, kendati itu ditempuh hanya dengan bekerja bangunan. 

‘’Ke Kalimantan rencananya saya cuma kerja bangunan, Mbak,’’ ujar Bajuri mengenang.

Namun dasar Bajuri berjiwa nekadan, uang Rp 200 ribu itu ternyata hanya tersisa Rp 25 ribu ketika ia menginjakkan kaki di pelabuhan Balikpapan. Sebab Rp 175 ribu sebelumnya telah habis untuk tiket kapal.

Hari-hari awal di bumi khatulistiwa tak semulus yang Bajuri pikir. Kesana-kemari mencari pekerjaan, namun tak kunjung ia temukan. Padahal yang ia cari sekadar kerja tukangan. Sebabnya, lagi-lagi Bajuri mesti ‘’ikut orang’’. Membantu seorang kerabat yang saat itu berdagang krupuk di Balikpapan.

‘’Ternyata cari kerja waktu itu ya susah juga,’’ terang Bajuri sembari tertawa kecil.

Waktu bergulir, memasuki awal milenium, tahun 2000. Sembari membantu paklik menggoreng krupuk, di radio Bajuri mendengar ada penerimaan anggota Polri dibuka. Paklik ternyata ikut mendengar. Sebabnya ia berharap Bajuri tak melewatkan kesempatan emas itu.

Awalnya Bajuri enggan. Banyak kekhawatiran menggelayutinya. Seperti ketiadaan dana. Bajuri kala itu cukup sadar diri, uang di kantongnya tak seberapa. Belum lagi tantangan lain. Seperti banyaknya kompetitor, dan ketatnya tahapan seleksi. Mengingat semua itu, Bajuri sempat kecil hati. Namun berkat dorongan orang-orang terdekat, Bajuri membulatkan tekad dan mencoba peruntungan.

‘’Saya salat istikhoroh tiga hari, dan kuatkan tekad. Akhirnya mendaftar [Kepolisian],’’ terangnya.

Tahap demi tahap seleksi dilalui. Keras dan ketat bukan main. Namun sekali layar terkembang, surut kembali ke daratan. Bajuri terus maju. Dukungan serta doa dari orang-orang disekitar terus mengalir. Bajuri pun terus belajar dan bekerja keras. Singkat cerita, ia lolos, dan berhasil diterima menjadi anggota Polri tahun 2001.

Usai lolos seleksi, dan diterima sebagai anggota kepolisian, kantong kering masih juga menghantui Bajuri. Ini sedikit menghambat kala ia mengikuti pendidikan di Balikpapan. Untuk mengakali kekurangan dana selama pendidikan, Bajuri memanfaatkan keterampilan yang dimiliki. Misalnya menjahit baju teman se-pendidikan. Untuk menghemat uang transportasi, kemana-mana Bajuri menggunakan sepeda.

‘’Pokoknya harus kreatif mencari tambahan dana untuk operasional selama pendidikan,’’ ungkap Bajuri tanpa ragu. 

Nyaris setahun Bajuri mengikuti pendidikan kepolisian. Kini waktunya penempatan. Sudah kerasan di Kaltim, Bajuri berharap tetap di bumi khatulistiwa. Dan benar saja, dia tetap di Kaltim. Namun ditempatkan di Bontang. (Bersambung).




TINGGALKAN KOMENTAR