•   03 May 2024 -

Ketika Industri Sawit Harus Lakukan Efisiensi Maksimal

Bisnis - Redaksi
12 April 2020
Ketika Industri Sawit Harus Lakukan Efisiensi Maksimal -

KLIKKALTIM.com -- Pandemi Covid-19 telah menjalar ke berbagai sektor industri di Indonesia, termasuk kelapa sawit. Untuk dapat bertahan dalam kondisi seperti ini, industri sawit harus melakukan efisiensi secara maksimal.

Kanya Lakshmi Sidarta, Sekjen Gabungan Pengusaha kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menjelaskan selain terus menjalankan protokol kesehatan melawan Covid-19 di semua lini aktivitas, industri sawit melakukan efisiensi besar-besaran untuk dapat bertahan.

Lalupengaturan kembali rencana cash flow termasuk merealokasi peruntukan dengan merevisi prioritas bujet, menyiapkan beberapa alternatif skenario krisis (semacam stress test) dan solusinya. Serta meninjau ulang mana yang tetap harus berjalan dan mana yg bisa ditunda.

Menurutnya, meski industri sawit mengalami imbas cukup besar akibat pandemi Covid-19, Gapki memastikan belum ada penutupan pabrik sampai saat ini. Namun, di lapangan terjadi kesulitan cash flow dan jika tangki stok sudah dirasa tidak menampung, maka pembelian buah sawit dari luar kemungkinan dikurangi.

"Kelihatannya dalam 1-2 bulan ke depan bisa saja ada yang mulai mengurangi pembelian buah dari luar dan hanya mengolah buah internal atau bahkan mengurangi jam operasi pabrik," ujar Kanya dalam keterangan resminya, Senin (13/4).

Hindari PHK

Kata Kanya, meski dalam masa sulit, industri sawit belum ada rencana untuk melakukan PHK karyawan. Bahkan Gapki sedang memperjuangkan agar para pekerja/karyawan baik yang di kebun maupun yang di pabrik mendapatkan tunjangan tambahan untuk kelompok yang dipandang lemah dan rentan terhadap krisis.

"PHK adalah pilihan terakhir, saya tidak mendengar dari teman-teman sesama industri yang berencana melakukan PHK," tegasnya.

Dukungan Pemerintah dan Pasar Domestik

Dia berharap dengan kondisi ini pemerintah memberikan insentif bagi industri sawit. Insentif yang dikeluarkan pemerintah untuk meringankan beban karyawan masih kurang merata.

Dia mencontohkan antara lain tunjangan PPh pasal 21 perusahaan yang biasanya disetorkan kepada negara, disarankan untuk dibayarkan kepada karyawan pabrik saja. Sementara perusahaan sawit memiliki bentuk manajemen beragam; ada yang satu atap, tapi ada yang terpisah antara kebun dan pabrik.

"Jadi jika hal ini diberlakukan, maka akan terdapat pembedaan perlakuan terhadap sesama karyawan dalam satu grup perusahaan. Justru hal ini dapat memicu permasalahan baru di lapangan," katanya.

Selain itu, lanjut dia, insentif yang diharapkan lagi adalah bantuan strategi dan solusi mengatasi berkurang drastisnya ekspor sawit. kKrena pasar ekspor sedang merata terkena pandemi corona yang berakibat terhadap penurunan permintaan. Industry ini jangan sampai mati atau berhenti, lebih dari 70 persen produksi sawit Indonesia selama ini diekspor.

Oleh karena itu, perlu diberikan kemudahan-kemudahan pelaksanaan penyerapan lebih besar di dalam negeri selain untuk biodiesel. Bisa juga untuk energi terbarukan lain, misalnya pembangkit listrik yang saat ini belum dapat dijalankan.

Menurut Kanya, dalam keadaan darurat seperti ini, hambatan birokrasi juga perlu dipangkas. Sedangkan untuk ekspor, selain semakin terbatasnya armada, peningkatan biaya transportasi dan ekspedisi kapal yang melonjak signifikan agar diturunkan atau mendapat kompensasi atas perbedaan antara sebelum dan saat masa wabah ini, terutama untuk pengangkutan bahan kebutuhan pokok.

"Sawit sebagian besar memang untuk kebutuhan pangan, selain untuk kebutuhan bahan dasar bahan-bahan pembersih diri dan rumah tangga seperti sabun, shampo, deterjen, dan pembersih rumah juga alat-alat rumah tangga," pungkasnya.

 

Sumber : merdeka.com




TINGGALKAN KOMENTAR