•   27 April 2024 -

Epistemologi Religiositas dan Kebudayaan

Korporasi -
12 Januari 2020
Epistemologi Religiositas dan Kebudayaan Penulis: Rahmat Shadr, Pengasuh Studi Kajian Pemikiran : Halaqah Nurcholish Madjid Kota Bontang.

Dalam wadah sebuah masyarakat tidak terlepas dari aspek budaya yang disandanginya, apa-pun itu, ciri khas masyarakt sangat indentik dengan kulturnya, dengan sebuah estafet tradisi yang telah terangkum dalam aspek sosio-kultural, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan kita.

Memulai dari kebudayaan, tentu tidak terlepas dari aspek epistemology (pengetahuan) karya/cipta manusia, maka budaya lahir dari sebuah pengetahuan, dari paradigma epistemologis  manusia mampu mempertahankan budayanya, meski perubahan zaman adalah suatu kepastian untuk dihadapi. Mengenai kebudayaan dan religiositas, tidak sertamerta di-pandangan dari aspek interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya, hanya bertujuan teknis dan pargmatis semata, sama halnya yang telah kita saksikan saat ini.

Dengan arus modernitas, akan tetapi budaya merupakan sebuah upaya manusia membangun keseimbangan internal (nafs dan akal), dengan kecenderungan alamiah yang dimiliki manusia, untuk mengarah pada realitas yang objektif, pandangan ini muncul pada subtansial manusia, mengenai hakikatanya sebagai subjek budaya.

Dalam konstruksi Sadrian, dalam tela’ah pemikirannya memahami bahwa manusia dari satu titik yang sama, yang artinya bahwa manusia merupakan manifestasi paling sempurna dari penciptaan semesta. Maka manusia dianggap memiliki kelebihan, dibandingkan ciptaan yang lain.

Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab yang diamanahi oleh sang pencipta, sebab  manusia mempunyai potensi dalam dirinya. Instrumen pontensi tersebut ialah, akal, fitrah, dan kehendak sebagai modal untuk menuju kesempurnaan.

Muthahhari menjelaskan  bahwa: ada nilai dalam diri manusia yang tidak bisa lekang oleh waktu (bersifat tetap) meskipun ia hidup dalam konteks dan perubahan zaman yang terus berubah, oleh karena itu dalam diri manusia,  ada yang tetap dan ada yang berubah, yang tetap ialah kecenderungan untuk menggapai kesempurnaan yang ada dalam fitrahnya, kecenderungan tersebut ingin mencari kebenaran, mencintai keindahan, keadilan, dan keterkaitan pada seni dan sastra sebagai naluri purba yang tidak pernah musnah.

Persoalannya adalah sampai dimana manusia dapat menjaga keseimbangan tersebut dengan zaman yang terus berubah, dengan budaya yang semakin dibenturkan dengan budaya asing, ada pergeseran terhadap budaya saat ini, menjadi mines spiritual dan epistemologi, pasalnya arus budaya modern mampu membius masyarakat kita untuk meninggalkan indentitasnya sebagai manusia yang berbudaya, spiritual dan etik.

Penerimaan budaya asing mengakibatkan masyarakat kita terlepas dari tradisi, arus modern yang begitu kuat dan masyarakat yang tidak siap menerima arus modernitas ditambah dalam era digital yang mengakibatkan masyarakat  menerima budaya asing tanpa pemahaman terhadapnya.

Walhasil, identitas masyarakat kita bukan lagi indentitas yang memerdekaan dirinya, akan tetapi teralienasi di lingkungannya sendiri. Jika kita melihat aspek tersebut, bahwa masyarakat telah kehilangan hal  praktis ketergantungannnya pada pandangan trasendensental (ilahiyah).

Yang perlahan-lahan dihapus oleh modernitas, maka pada titik inilah manusia membutuhkan pandangan dunia yang mungkin bisa mengembalikan atau meyerap nilai religius sebagai parktek untuk membangun keseimbangan budaya dengan nilai-nilai yang tetap, yang telah kita terangkan di atas.

Dengan demikian bahwa ciri khas budaya dalam perkembangannya mengikuti perubahan sebuah zaman, maka dalam hal ini ia berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun seperti yang kami terangkan di atas perubahan ini, membentuk konsep baru terpisahnya ilmu pengetahuan dengan agama.

Maka dalam pandangan Sadrian ingin mengembalikan lagi kebudayaan dan religiositas kejantung subjek manusia. Kebudayaan dalam arus perubahan zaman ia mengikuti pola  yang ikut berubah, maka ia (budaya) harus di-ikat oleh nilai  nilai universal yang tetap yaitu etika, (bahasa Muthahhari bahwa etika dan budaya memiliki orientasi yang berbeda,budaya memiliki orientasi teknis dan prktis sedangkan etika memiliki tujuan teoritis dan spiritual).

Maka hukum yang mengikat suatu budaya tertentu adalah nilai universal dan spiritual, karena budaya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan dan teknologi, jika tanpa ada sebuah ketetapan untuk mengkanter perubahan ini,maka manusia tidak akan menemukan eksistensinya dalam hubungan sosio-kultural, seperti keterpisahan antara ilmu pengetahuan dan agama.  

(Kuntowijoyo mengatakan  satu-satu yang bisa  memanusiakan teknologi dan sains adalah agama).
Mengenai aspek sprtiual manusia, kita harus menetapkan status ontologis  (tauhid), untuk membicarakan hal ini, dalam gerak kesempurnaan manusia ,yang ada pada fitrahnya dengan kecenderungan menyempurna. Untuk mengarahkan masyarakat pada  tujuan hidupnya, namun tidak terlepas dari simbolisasi budayanya, dan  tak terpisah antara ruhani dan jamani, sebagai sarana perjalan manusia sampai pada tujuannya.

Gerak menyempurna manusia bagaimana ia memandangan mengenai aspek, alam, sejarah dan masyarakat, maka ada aspek material dan sosial untuk tujuan manusia, spiritual manusia adalah sebuah gerak jiwa dan akal dalam ikhtiarnya untuk mencapi teoritis spiritual. Kemudian budaya pada peletakan pada ranah aksiologi (nilai etika) untuk memenuhi kerangka etis, hukum-hukum sosial.

Pendekatan  budaya seperti yang kami telah terangkan di atas dalam nilai universal tersebut bercorak spiritualitas merupakan sebuah pandangan epistemologi, dengan hal tersebut ada nilai objektif dalam sistem budaya yang universal menyangkut: keadilan, kebenaran, sosial, politik dan ekonomi. Maka dari itu meminjam istilah Amin Rais Tauhid semesta akan menjadi realisasi dari budaya, spiritual dan intelektual, menjadi keharusan jika manusia sampai pada tahap persepsi inteleksi (intelektual).




TINGGALKAN KOMENTAR