•   02 May 2024 -

Ancaman PHK di Tengah Kenaikan Cukai Rokok

Ekonomi -
25 Oktober 2019
Ancaman PHK di Tengah Kenaikan Cukai Rokok Ilustrasi. (Antara Foto/Aguk Sudarmojo).

KLIKKALTIM.com -- Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Aturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 18 Oktober 2019.

PMK itu seolah-olah menjadi penegasan dari pemerintah atas rencana kenaikan yang sudah diumumkan sejak September 2019 lalu. Naiknya cukai rokok akan membuat rata-rata harga jual eceran rokok diperkirakan meningkat 35 persen dari harga jual saat ini.

Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim berpendapat keputusan ini jelas merugikan industri rokok dan tembakau. Permintaan terhadap rokok bisa saja turun, sehingga pembelian tembakau oleh perusahaan ikut terdampak.

Kalau permintaan terus menurun, kinerja industri rokok dan tembakau jelas akan menyusut. Bila demikian, bukan tidak mungkin perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah karyawannya demi mengurangi beban biaya di tengah permintaan yang merosot.

"Kenaikan cukai tahun 2020 memang akan berdampak pada sektor pertembakauan baik di sektor perkebunan, industri, maupun retail, sehingga pada ujungnya akan berdampak terhadap tenaga kerja" papar Abdul kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/10).

Belum lagi terdapat beberapa peraturan daerah (perda) yang membatasi penjualan atau pemasaran rokok secara terbuka di toko. Hal ini akan menambah lesu industri rokok dan tembakau dalam waktu mendatang.

Kendati demikian, Abdul belum bisa berspekulasi jumlah tenaga kerja yang akan terkena dampak dari kebijakan-kebijakan ini.

"Dampak terhadap tenaga kerja juga diakibatkan karena banyak perda-perda yang membatasi tempat penjualan rokok. Untuk itu saya belum bisa memperkirakan berapa tenaga kerja yang terdampak," terang dia.

Selain tenaga kerja, kebijakan kenaikan cukai ini akan berpengaruh pada kinerja industri secara umum. Hanya saja, lagi-lagi Abdul belum bisa memperkirakan potensi penurunan industri secara umum dari kebijakan cukai tahun depan.

"Harusnya ada (dampak ke industri secara keseluruhan). Saya belum bisa prediksi," ucap Abdul.

Kalau ini sampai terjadi, pemerintah bisa dipastikan bakal kembali gagal mengerek pertumbuhan industri tahun depan. Diketahui, kinerja industri terus melambat beberapa waktu terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan industri kuartal II 2019 hanya 3,54 persen. Realisasi itu berada di bawah pertumbuhan ekonomi yang menyentuh 5 persen dan turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 3,88 persen.

Untuk itu, pemerintah akan melakukan mitigasi risiko dengan melakukan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk sektor tembakau dan perkebunan. Hal ini guna mengurangi dampak terhadap tenaga kerja.

"Pemerintah akan melakukan mitigasi dampak tersebut antara lain dengan melakukan penggunaan DBHCHT untuk mendukung sektor perkebunan tembakau, pelatihan tenaga kerja, dan industri hasil tembakau," ujarnya.

Dari sisi pelaku industri, Ketua Komunitas Kretek Indonesia Aditia Purnomo mengaku pesimis dengan nilai penjualan tahun depan. Masalahnya, harga rokok akan naik signifikan lantaran peningkatan cukai kali ini jauh lebih besar dibandingkan biasanya yang hanya sekitar 10 persen.

"Karena itu penjualan rokok tahun depan hampir pasti turun signifikan. Produksi akan berkurang," ucap Aditia.

Jika melihat data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), jumlah pabrik rokok sebenarnya sudah turun sejak 2011 lalu. Semula yang jumlahnya 2.540 pada 2011 turun menjadi hanya 487 pabrik pada 2017.

"Karena industri rokok ini banyak, bukan hanya yang besar-besar. Ada yang pabrik-pabrik menengah ke bawah. Itu mereka akan megap-megap dengan kebijakan yang ada. Sudah mereka sulit bertarung di pasaran, kebijakan yang ada juga membuat mereka semakin sulit untuk memproduksi," jelas Aditia.

Senada, Ekonom Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menyatakan penurunan penjualan industri akan membuat perusahaan terpaksa memangkas jumlah pekerjanya. Alhasill, jumlah karyawan yang terkena PHK pun bertambah, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) pun rentan naik.

"Rokok itu kan industri padat karya, pengaruhnya ke PHK juga nanti karena kan permintaan rokok juga berpengaruh," terang Telisa.

Mengutip Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran per Februari 2019 terlihat sudah membaik di angka 5,05 persen. Posisinya turun dibandingkan dengan Februari 2018 yang mencapai 5,13 persen.

Jika pengangguran semakin banyak, maka bukan tidak mungkin kemiskinan akan bertambah. Pasalnya, mereka yang terkena PHK belum tentu akan mendapatkan pekerjaan pengganti secara cepat. Walhasil, mereka tidak bisa memperoleh penghasilan rutin seperti biasanya dan bakal menghantam daya beli masyarakat.

"Mungkin maksudnya bagus untuk mengurangi perokok tapi perhatikan juga industrinya, dilihat lagi dampaknya," kata Telisa.

Sebagai gambaran, BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2019 sebanyak 25,14 juta orang. Jumlahnya turun dibandingkan dengan September 2018 yang sebanyak 25,67 juta orang.

Kerek Inflasi

Di sisi lain, Ekonom BCA David Sumual menilai kenaikan cukai bisa mengerek inflasi tahun depan. Terlebih, pemerintah juga berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2020.

"Pemerintah harus berpikir dan menimbang untuk tidak sekaligus menaikkan harga-harga yg lain. Ini kan isu rencana banyak, ada BPJS, terus ada tarif listrik, dan jalan tol," papar David.

Kalau dinaikkan secara bersama, bisa-bisa tingkat inflasi tembus 3,5 persen. Terburuknya lagi, daya beli masyarakat yang sebenarnya belum pulih 100 persen berpeluang semakin melemah.

"Padahal daya beli ini kan penyokong ekonomi, tahun depan masih berharap sama konsumsi," ucap David.

Kemampuan beli masyarakat terganggu lagi berisiko menekan ekonomi dalam negeri. Sebab, tingkat konsumsi masih menyumbang lebih dari 50 persen ke pertumbuhan ekonomi.

"Apalagi masyarakat kelas menengah ke bawah, itu yang jadi penopang terbesar konsumsi," kata David.

Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019 hanya sebesar 5,05 persen secara tahunan atau melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, 5,27 persen.

Mayoritas struktur pembentuk pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga sebesar 55,79 persen, diikuti investasi 31,25 persen, sedangkan ekspor 17,61 persen dan impor 18,53 persen.

Sumber : cnnindonesia.com




TINGGALKAN KOMENTAR