•   13 September 2025 -

PT. Borneo Grafika Pariwara

Jl. Kapt Pierre Tendean, RT 02 No 9, Kelurahan Bontang Baru
Kecamatan Bontang, Kota Bontang, Kaltim - 75311

Bahaya Pemangkasan Transfer Daerah, Kejutan Fiskal Kepala Daerah Baru, Terancam Tak Bisa Bangun Infrastuktur

Bontang - Redaksi
12 September 2025
 
Bahaya Pemangkasan Transfer Daerah, Kejutan Fiskal Kepala Daerah Baru, Terancam Tak Bisa Bangun Infrastuktur Ilustrasi.

PEMERINTAH memangkas alokasi anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026. Kebijakan pemangkasan sebesar Rp 650 triliun, turun 24,7 persen dibanding tahun 2025 yang mencapai Rp. 864 triliun, ditengarai akan berdampak pada pembangunan proyek infrastruktur di daerah.

Guru Besar dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, menilai kebijakan pemangkasan TKD ini dinilai sangat aneh dan beresiko besar terhadap keberlanjutan pembangunan daerah. Pasalnya target belanja RAPBN justru meningkat 17,7 persen, tetapi TKD dipangkas 24,7 persen atau setara Rp269 triliun. “Untuk program MBG terjadi peningkatan hingga lima kali lipat menjadi Rp335 triliun, tetapi subsidi ke daerah yang bisa mendorong keberlanjutan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja justru dikurangi dalam jumlah yang sangat signifikan,” ujarnya, Senin (8/9).

Menurutnya, pemangkasan TKD yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) akan berdampak serius terhadap keberlangsungan pembangunan di berbagai daerah. Ada banyak daerah yang tidak mungkin lagi bisa meneruskan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, atau sarana telekomunikasi yang sudah dimulai. “Program penanggulangan kemiskinan pun pasti akan dikorbankan jika tidak banyak lagi yang bisa diharapkan dari TKD,” paparnya dikutip dari laman UGM

Lebih jauh, Wahyudi menilai kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak 2001 masih gagal. Alih-alih memperkuat kemandirian, banyak pemerintah daerah justru semakin bergantung pada dana transfer pusat. “Yang terjadi adalah fenomena flypaper-effect, ibarat lalat yang tertarik pada kertas dengan umpan sekaligus lem perekat. Dengan adanya dana perimbangan, banyak Pemda yang meningkatkan belanja, tetapi kurang berusaha menambah PAD atau sumber pendapatan mandiri lain. Rata-rata PAD terhadap APBD masih 24,18 persen,” jelasnya.

Wahyudi memprediksi dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari pemangkasan TKD yang drastis dan tiba-tiba, menimbulkan konsekuensi politis, ekonomis, dan sosial. “Daerah yang ingin terus melanjutkan program prioritasnya pasti akan berusaha menarik PAD sebanyak mungkin. Instrumen yang paling memungkinkan adalah menaikkan PBB dan pajak-pajak daerah lainnya,” ungkapnya.

Kebijakan tersebut berisiko menimbulkan gejolak sosial jika tidak dikelola dengan baik. Ia mencontohkan, kasus demonstrasi ricuh dan pembangkangan massal seperti di Pati bisa berlanjut, terutama di daerah-daerah yang merencanakan kenaikan pajak besar-besaran seperti Banyuwangi, Cirebon, Semarang, Jeneponto, dan Bone. “Dalam situasi ekonomi yang masih suram, semakin besarnya pungutan daerah, apalagi disertai pernyataan kepala daerah yang arogan dan kurang sensitif, bisa berakibat sangat eksplosif dari segi sosial,” pungkasnya.

Penurunan transfer daerah memberikan tantangan tersendiri terhadap para kepala daerah baru. Mereka tidak hanya diwarisi kendala anggaran dari periode sebelumnya, tetapi juga harus membentuk strategi baru untuk tetap menjaga kestabilan keuangan daerah yang berpotensi terganggu akibat penurunan TKDD.
Pemangkasan ini juga akan mengurangi kemampuan pemda dalam menggerakkan ekonomi di daerah.

Sementara itu, hampir separuh dari seluruh kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru. Melansir dari data Komisi Pemilihan Umum terkait hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 di tingkat provinsi, sekitar 47,1% kepala daerah adalah wajah baru, sementara 52,9% masih petahana. Angka serupa juga terlihat di tingkat kabupaten/kota, dengan 47,3% kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru.

Sebagai catatan, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan untuk membiayai keperluan daerah yang bersangkutan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

PAD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan desentralisasi fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap TKDD dalam membiayai program pemerintah daerah.

Meskipun begitu, strategi desentralisasi malah menghadirkan tantangan berupa ketimpangan kemampuan fiskal antar provinsi. Tidak semua provinsi mampu menghadirkan PAD yang memadai.

Hanya segelintir daerah dengan PAD besar yang bisa bernapas lega, sementara daerah lain tetap kelimpungan ketika transfer pusat dipotong. Selain itu, PAD yang bersumber dari pemasukan pajak dan retribusi membuatnya sangat sensitif terhadap kondisi siklikal ekonomi. (sumber: CNN Indonesia)






TINGGALKAN KOMENTAR