[OPINI] Pokdarwis : Garda Terdepan Pembangunan Pariwisata Balikpapan
![[OPINI] Pokdarwis : Garda Terdepan Pembangunan Pariwisata Balikpapan](https://klik-kaltim.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/News/2025-06/opini-pokdarwis-garda-terdepan-pembangunan-pariwisata-balikpapan.jpeg)
Syahrul Karim, Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Balikpapan
BALIKPAPAN- Kota pelabuhan minyak yang berjuluk "Gateway to East Borneo," menyimpan potensi besar dalam sektor pariwisata. Dengan kekayaan alam seperti Mangrove Centre dan Sungai Wain, serta letak geografis strategis sebagai gerbang Ibu Kota Negara (IKN), kota ini memiliki peluang emas untuk mengembangkan sektor pariwisata berbasis komunitas.
Data terkini DPOP, 2025 terdapat 81 objek wisata. Tersebar diseluruh wilayah kota Balikpapan. Kunjungan wisatawan pun terus naik pasca Covid 19. Terbaru 2024 sebanyak 2,6 juta orang. Rata rata 1,75 hari. Keberhasilan sektor ini tak lepas dari keterlibatan masyarakat lokal melalui Pokdarwis.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dibentuk untuk menjembatani upaya tersebut. Namun, temuan riset yang dilakukan oleh Karim, dkk (2017) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih berada pada tataran simbolik atau derajat semu.
Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban seorang warga negara untuk memberikan kontribusinya kepada pencapaian tujuan kelompok. Sehingga mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya (Rizqina, 2010). Dalam Undang Undang 23 Tahun 2014 telah diatur partisipasi masyarakat. Pada ayat 1 dijelaskan bahwa untuk mendorong partisipasi masyarakat maka pemerintah daerah; a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada masyarakat; b) mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah melalui dukungan pengembangan kapasitas masyarakat; c) mengembangkan kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara aktif; dan/atau d) kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya masyarakat dilibatkan sejak awal program, mulai perencaan hingga evaluasi program tersebut (Davis & Newstrom, 2004).
Tahun 2017 Pemerintah Kota Balikpapan melalui Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) pada telah membentuk tujuh Pokdarwis di kawasan destinasi unggulan: Gunung Binjai, Teritip, Pantai Manggar, Kampung Warna Warni, Margomulyo, Sungai Wain, dan Mangrove Centre. Hingga kini (2025) sudah terdapat 22 Pokdarwis baik yang dibentuk oleh pemerintah kota maupun secara inisiatif dari masyarakat. Ini merupakan implementasi program nasional Sapta Pesona yang menekankan pentingnya keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan. Pokdarwis diharapkan menjadi motor penggerak perubahan lokal dengan peran sebagai tuan rumah, promotor wisata, sekaligus pelaku ekonomi kreatif.
Untuk mengukur partisipasi Pokdarwis di kota Balikpapan dengan menggunakan kerangka partisipasi Arnstein, (1969) Pokdarwis di Balikpapan dikategorikan dalam tingkat takonism (derajat semu). Artinya, masyarakat dilibatkan, namun tanpa kekuasaan yang berarti dalam pengambilan keputusan. Meskipun anggota Pokdarwis aktif pada tahap perencanaan awal, keterlibatan mereka menurun drastis pada tahap implementasi dan evaluasi. Terdapat empat kategori penilaian. Tataran ide terdiri dari 8 indikator, pengambilan keputusan terdapat dan tahap implementasi masing masing 7 indikator dan evaluasi sebanyak 9 indikator.
Tataran ide mencatat skor tertinggi, yakni 64,28%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup aktif dalam menyampaikan gagasan, menghadiri musyawarah, dan memberi masukan terhadap program Pokdarwis. Banyak warga yang mengusulkan kegiatan unik, seperti trekking di Gunung Binjai, lomba ketinting di Sungai Wain, atau penanaman bakau di Mangrove Centre. Sayangnya, antusiasme tersebut tidak sepenuhnya diterjemahkan ke dalam aksi nyata di lapangan.
Memasuki tahap pengambilan keputusan, angka partisipasi sedikit menurun menjadi 63,30%. Keputusan akhir kerap berada di tangan pemerintah kota, sementara masyarakat hanya diberi ruang konsultatif. Banyak anggota Pokdarwis mengaku tidak memahami detail program yang dijalankan. Bahkan hanya empat dari tujuh Pokdarwis yang memiliki AD/ART sebagai pedoman kerja. Hal ini memperlihatkan lemahnya kapasitas kelembagaan yang seharusnya menjadi tulang punggung pelaksanaan program.
Pada tahap implementasi, partisipasi masyarakat merosot ke angka 40,41%. Penyebabnya beragam, mulai dari kesibukan pekerjaan utama, kurangnya insentif ekonomi, hingga perbedaan etnis dalam komunitas yang mempersulit koordinasi. Selain itu, pekerjaan utama anggota—seperti nelayan, buruh, atau pedagang—membuat mereka sulit terlibat dalam aktivitas Pokdarwis secara rutin.
Evaluasi menjadi indikator terlemah dengan skor 42,80%. Banyak anggota merasa tidak dilibatkan dalam proses evaluasi, bahkan tidak mengetahui kepada siapa masukan atau kritik harus disampaikan. Proses evaluasi lebih bersifat administratif dan terpusat pada dinas terkait. Akibatnya, perbaikan program berjalan lambat dan minim respons terhadap kebutuhan nyata komunitas.
Minimnya pelibatan masyarakat pada tahap implementasi dan evaluasi turut disebabkan oleh rendahnya alokasi anggaran untuk sektor pariwisata. Disporapar Balikpapan mengakui bahwa anggaran terbatas membuat banyak usulan Pokdarwis tidak bisa diakomodasi. Dalam kondisi defisit APBD, pembangunan infrastruktur wisata lebih mengandalkan kerja sama dengan pihak swasta. Sementara itu, pelatihan dan pengembangan kapasitas SDM belum menjadi prioritas. Ketimpangan ini menciptakan paradoks: di satu sisi, masyarakat diminta aktif dan kreatif dalam mengembangkan wisata, namun di sisi lain, mereka tidak dibekali dukungan memadai. Tanpa pelatihan, tanpa dana operasional, dan tanpa kejelasan arah kebijakan, Pokdarwis menjadi simbol tanpa substansi. Keberadaan mereka lebih bersifat administratif daripada transformatif.
Meski demikian, di tengah berbagai keterbatasan, sejumlah Pokdarwis menunjukkan inisiatif menarik. Misalnya, Pokdarwis Teritip menggagas program edukasi konservasi buaya bersama mahasiswa, sementara Pokdarwis Mangrove Centre meluncurkan kampanye "One Visitor, One Seedling" untuk menanam bakau. Di Pantai Manggar, komunitas surfskate bekerja sama dengan Pokdarwis mengadakan kompetisi nasional yang meningkatkan kunjungan wisatawan dan ekonomi lokal.
Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa jika diberi ruang dan dukungan, masyarakat mampu berinovasi dan mendorong pertumbuhan wisata yang berkelanjutan. Hanya saja masih banyak Pokdarwis yang belum terpapar akses pelatihan, jaringan pemasaran digital, maupun model bisnis pariwisata.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam tata kelola pariwisata lokal. Pertama, pemerintah harus menerapkan pendekatan partisipatif yang sejati. Ini mencakup pelibatan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi, serta memberikan kewenangan nyata dalam pengambilan keputusan. Kedua, alokasi anggaran perlu ditingkatkan agar Pokdarwis memiliki dana operasional yang jelas. Ketiga, dibutuhkan pelatihan dan pendampingan berkelanjutan dalam bidang manajemen destinasi, pemasaran digital, dan kewirausahaan pariwisata. Selain itu, perlu dibangun ekosistem kolaboratif antara pemerintah, perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat. Kolaborasi ini dapat menciptakan inovasi berbasis lokal sekaligus memperkuat kelembagaan Pokdarwis. Misalnya, perguruan tinggi dapat menjadi mitra riset dan pelatihan, sementara sektor swasta bisa memberikan dukungan pendanaan atau promosi.
Pengalaman daerah lain seperti Nglanggeran di Yogyakarta atau Penglipuran di Bali membuktikan bahwa pariwisata berbasis komunitas bisa berhasil jika ditopang oleh partisipasi aktif, distribusi manfaat yang adil, dan tata kelola yang transparan. Balikpapan memiliki semua potensi itu—alam yang memesona, masyarakat yang multikultural, dan posisi strategis di tengah geliat pembangunan IKN.
Dengan reformasi menyeluruh dan dukungan kebijakan yang inklusif, Pokdarwis Balikpapan dapat bertransformasi dari simbol partisipasi menjadi penggerak utama pembangunan wisata. Mereka bisa menjadi wajah ramah kota dalam menyambut wisatawan, sekaligus pelindung nilai-nilai lokal dan lingkungan. Kini saatnya Balikpapan melangkah dari tokenisme menuju kemitraan sejati. Partisipasi bukan hanya tentang hadir dan mendengar, tetapi tentang menentukan, melaksanakan, dan merasakan hasilnya bersama. Masa depan pariwisata Balikpapan bukan di tangan pemerintah saja, tetapi di tangan semua warganya—melalui Pokdarwis yang kuat, mandiri, dan berdaya saing.
Ikuti berita-berita terkini dari klikkaltim.com dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: